Dua jam berikutnya, aku telah sampai di kediaman ibu. Beliau menyambutku dengan penuh welas asih. Kucium tangan sepuh yang wajahnya masih memancarkan sisa kecantikan masa lalu itu, untuk setelahnya kami berpelukan cukup lama.
“Bagaimana pertemuanmu dengan Bapak?”
“Alhamdulillah, Allah melancarkan semuanya, Bu. Ternyata dengan memaafkan, hati kita menjadi ringan,” ucapku.
Ibu mengangguk dan tersenyum.
”Awalnya memang terasa berat, Nak, namun setelah dilakukan, kelak hati akan mengikhlas dengan sendirinya.”
Aku mengamini pendapat Ibu. Awalnya memang amat berat juga menyakitkan, terutama saat harus berkelahi ego pribadi, meredam nafsu amarah juga membunuh dendam yang terekam dari pahit kenangan. Namun setelah semua dikalahkan, akan muncul ketenangan. Dan ketenangan itulah yang semoga mampu menuntun untuk lebih mendekat pada-Nya.
Kuhabiskan malam dengan berbincang sepuasnya bersama ibu. Jika tidak mengingat besok harus berangkat pagi, ingin rasanya menemani beliau berbincang hingga esok.
Bersamaan dengan fajar yang menyeruak di kaki langit paling Timur pulau Jawa, aku pulang. Aku rindu suamiku. Ingin rasanya segera sampai dan menceritakan semuanya. Karena buah trik jitunyalah akhirnya aku bisa mengambil keputusan ini.
Sambil tersenyum kubayangkan kami telah berada di teras saat senja. Bersama segelas teh hangat tawar, tentu saja! Atau, bisa jadi gelas itu akan bertambah menjadi dua.
Membayangkan semuanya membuatku tersenyum.
ThornVille, 06 Juni 2016