”Bagaimana caranya menghilangkan kebencian yang terlanjur mengarat di hati, Kak?” tanyaku pilu, masih melalui secangkir teh hangat tawar yang sama seperti setiap petang yang kami lalui.
“Munculkanlah ingatan-ingatan yang menyenangkan bersama beliau, Dek. Dan bila itupun tak mempan, jadikanlah pengalamanmu selama ini sebagai pengingat, bahwa dengan perantara kesalahan beliaulah kamu bisa menjadi seperti sekarang ini, termasuk juga bisa bertemu lalu bersanding dengan kakak.”
Aku menghirup napas panjang dan mengeluarkannya dalam sekali hembus. Berat rasanya menghilangkan ganjalan ini. Wajah Ibu dan Bapak bergiliran mencuat serta pantul-memantul dari balik bilik benak. Lalu ingatan itu muncul. Ingatan tentang Bapak yang tak bosan berkisah tentang Mahabharata dan Ramayana, lengkap dengan pesan moral khas beliau yang amat sesuai dengan nalar kanak-kanakku waktu kejadiannya.
Dan ladzimnya perkara apapun jika mulai mencuat ke permukaan, beberapa kenangan menyenangkan susul-menyusul tanpa henti. Masa ketika Bapak dan Ibu memperkenalkan buku bacaan pada kami semua, hingga bila ada buku bacaan terbaru yang dibawa Ibu sepulang mengajar, kami tiga bersaudara harus antri membacanya. Walau yang paling sial tentu saja aku. Sebab sebagai anggota keluarga termuda menjadikanku otomatis sebagai pihak yang mendapat jatah paling akhir untuk membacanya.
Tanpa sadar aku tersenyum mengingat kenangan-kenangan itu. Benar apa yang dikatakan suamiku. Dengan menghadirkan ingatan yang menyenangkanlah niscaya hati akan turut tersenyum.
*****
Jum’at malam kuutarakan niatku mengunjungi Bapak, karena aku merasa sudah siap menemui beliau. Apapun yang terjadi, beliau memang tetap dan selalu bapakku.
Suamiku tersenyum hangat mendengar keputusanku. Diusapnya rambutku dengan lembut, sambil tak henti-hentinya mengucap syukur kepada-Nya. Ketidaksertaan suamiku karena tugas kantor yang menumpuk tak menyurutkan langkahku menuju kediaman Bapak.
Aku berangkat dengan penerbangan paling pagi, yang dilanjutkan dengan perjalanan darat sebab kota tempat bapak tinggal terletak agak di pelosok. Rasanya lama sekali perjalanan ini, yang makin bertambah lama dengan suguhan kemacetan di beberapa ruas jalan. Ternyata tak hanya Jakarta yang mengenal kata macet. Fiuhh...
Pukul 12.00 siang aku tiba di rumah Bapak. Beliau terlihat sepuh dengan rambut yang putih kusam serta beberapa gigi yang tak lagi lengkap.
Ada kejut, senang juga haru memancar dari wajah Bapak. Segera kucium tangan beliau dengan perasaan yang seperti dulu, membuat kami tak mampu berkata apapun selain menerjemahkannya ke dalam bahasa airmata.