Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Munculnya Penulis-penulis Tangguh di Kompasiana

24 November 2015   20:52 Diperbarui: 24 November 2015   20:58 926
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kita tak sontak bijak

bersih hati, juga bahagia

hanya dengan membaca buku petunjuk semata

kita harus terjun

kadang butuh terhanyut

tak jarang mesti berkubang

dan berendam dalam pengalaman guram

yang penuh aroma rindu serta dendam

 
kita harus terus berada dalam perbuatan

tercenung dalam renung

serta menyatu dalam laku.

sebab ujian dan hasil sejatinya bermuara di sana 

“jangan-jangan

Tuhan menyisipkan harapan bukan pada nasib dan masa depan

melainkan pada rangkaian momen terkini dalam kehidupan

—yang sebentar, tapi menggugah, mungkin juga indah."

(#Serpihan Debu dan Bay)

***

 

Munculnya Penulis-Penulis Tangguh di Kompasiana.

Sekar Mayang: Hahahaha! Gue baca fikber gelombang 1 ini berasa baca serial kriminalnya J.D. Robb. Doi ciamik menggabungkan thriller dan romance.

Itu salah satu komentar dari Mbak Sekar Mayang ‘si tukang ngeberesin typo dkk’, yang sekaligus mengamini komentar-komentar sejenis di karya peserta Event Fiksi Bersambung garapan Fiksiana Community. Sementara pada lapak yang berbeda, Uda Ando Ajo menuliskan komen yang tak kalah memabukkannya untuk fikber gelombang 3:

Ando Ajo: Hahahhaha… Bukan masalah katanya, Bay, tapi setting ceritanya yang ane kagak nangkep (keempat-empatnya). Ciyus ni… Ane dah baca berulang-ulang karya 4 teman sebelumnya, tapi... tetap aja ane gak bisa nyambungin ceritanya, boro-boro setting-nya yaah. Apa boleh buat, lebih baek ane alihkan aje ke kehidupan nyata, jadi gak absurd getoo, hahahha… Ntu Si Bay pan biang keroknya.

Komen Mbak Sekar dan Da Ando tersebut semakin meyakinkan saya bahwa di Kompasiana memang banyak penulis tangguh nan hebat, yang kini mulai bermunculan satu demi satu melalui event fikber FC, yang diselenggarakan 3 gelombang sekaligus.

Betapa tidak? Dari begitu banyak peserta event fikber, tak ada satupun yang memiliki genre yang sama. Dan anehnya, perbedaan tersebut tak lantas membuat masing-masing peserta berkeras menonjolkan ego pribadi di sela keringat pucat yang melengket lekat setiap kali mendapat giliran melanjutkan karya, melainkan terus berusaha untuk membuat karya yang saling mengharmoni.

Maka jadilah kumpulan karya peserta fikber membentuk sebuah draft novel ciamik, dengan bab-bab unik multigenre dan lintas gaya sebagai penopang utamanya, sesuai keragaman latar belakang semasing kontributornya. Sesuatu yang siapa sangka justru menjadi tantangan tersendiri bagi peserta selanjutnya untuk memberi hanya yang terbaik, dengan terus berusaha mensinergi.

Dan itu jelas bukan hal yang amat mudah. Terutama ketika penyelenggaraan event fikber FC ini, justru pada masa tulisan fiksi mati suri  di K buah kejahatan moral kompasianer sialan tukang piara akun tuyul yang telah putus urat malunya itu, seperti yang pernah dibuat artikelnya oleh Kompasianer Reza aka Fadli Zontor yang berjudul “Masa Depan Fiksiana Terlihat Suram Gara-gara Akun Tuyul”, yang langsung membuat rontok sebagian besar fiksianer aktif

Saya pribadi masih terus berkeras mengintip, siapa saja yang tetap bersemangat memposting karya di Kompasiana, berapa hits terakhir yang diperoleh, serta parameter lainnya yang disusun hanya demi mengetahui besaran indeks PMSK (*PMSK = Penelusuran Minat dan Semangat Kekaryaan) yang tersisa.

Hasilnya? Super jeblok!

Pada tanggal 12 Nopember 2015, bahkan 3 fiksianer yang karyanya seringkali ‘merajai’ Kompasiana dengan jumlah hits, vote serta komen tertinggi, harus cukup puas untuk menerima review ala kadarnya, yang tak lebih dari kisaran 150 s.d. 230 pembaca. Sangat njomplang jika dibandingkan perolehan angka sebelumnya yang rata-rata tak kurang dari 500 s.d 1200 pembaca.

Tapi rencana telah digelar. The show must go on. Alih-alih menunda posting karya perdana di K, seluruh admin FC justru melakukan hal yang bertolak belakang, yaitu: Langsung menambah gelombang peserta dari hanya satu sebagai pilot project, menjadi 3 gelombang sekaligus dengan tema yang berlawanan.

Bukankah obat terbaik mengusir kesunyian adalah dengan lebih banyak melakukan kegiatan? Yang melibatkan pegiat-pegiat fiksi (dan beberapa penulis jempolan non fiksi) di Kompasiana -entah itu dengan cara undangan khusus maupun undangan terbuka- untuk lebih saling bergandeng tangan dalam geliat api unggun persahabatan?

Sebagai penggagas utama event fikber ini, saya hanya meminta kepada Desol mewakili jajaran admin sepuh FC, agar ada satu gelombang yang berisi Kompasianers aktif yang gemar membagi ilmu serta tak pelit pengetahuan, untuk dijadikan acuan dasar bagi proyek percontohan selanjutnya di Kompasiana.

Hasilnya? Walau sebelumnya saya sempat ‘misuh-misuh’ di inbox khusus seluruh peserta event, karena merasa kecewa akan ‘tahap pencapaian belajar’ yang masih amat minim, namun setelahnya semua berubah.

Melalui artikel bedah karya awal ini saya -dengan amat tulus- ingin menyampaikan rasa salut, bangga juga terima kasih yang tak terhingga kepada seluruh peserta, yang di tengah kesibukan pribadi yang tak habis-habisnya, masih ikhlas berupaya sekuat tenaga untuk tak sekedar ‘berbagi kualitas pengetahuan kepenulisan’ melalui contoh karya belaka, melainkan juga menyukseskan hidden curriculum melalui kegiatan saling memberi masukan melalui kolom komentar, hingga memberi efek peningkatan kualitas pribadi masing-masing peserta yang amat mendongkrak, yang terpancar tak melulu hanya dari karya yang dibuat, melainkan juga dari komentar-komentar yang mereka berikan. Inilah salah satu kawah candradimuka yang sebenarnya!

Dari event fikber ini kemudian lahir sebuah gambaran, bahwa Kompasiana, memang bukan sebuah blog keroyokan yang biasa saja. Karena blog ini sejatinya dipenuhi harimau mengeram-naga bersembunyi, yang sewaktu-waktu akan bermunculan ke permukaan ketika ada stimulan yang tepat: Dalam rupa penulis-penulis tangguh yang mampu untuk tetap hebat, meski harus membuat karya yang amat bertolak belakang dari genre serta tema yang biasa digarap.

“Maksud lo, Bay, fiksianer yang gak ikut fikber gak hebat, gitu?”

Jika ada yang bertanya seperti itu, saya cuma akan menjawab, “Point utamanya bukan itu, Bro. Dan ada baiknya jika kamu belajar untuk membaca, dengan cara yang lebih baik lagi…^_”

"Kami tak memiliki makanan, mengapa pula kami harus belajar membaca?" tanya seorang anak pengungsi kepada Jenderal Guan Yu, panglima perang Liu Bei, yang sedang mengajarinya membaca. Guan Yu pun menjawab, "Kelak kau akan tahu bahwa belajar membaca sekarang akan memberimu makan di masa mendatang."

***

 

Bedah Karya Pertama: Satu Karya, Enam Sudut Pandang Penceritaan, Plus Satu Sudut Pandang ‘Unik’.

Seperti yang dah saya janjikan sebelumnya, hari ini akan saya coba mulai ‘membedah’ karya-karya yang dibuat oleh peserta. Mungkin tidak mendetail semua karya, tapi semoga cukup mencakup secara keseluruhan.

Sampai artikel ini dibuat, setidaknya telah ada enam sudut pandang yang berbeda dalam karya peserta event fikber FC gelombang pertama, yang sepertinya masih akan bertambah mengingat masih ada dua peserta yang belum mendapat giliran, plus empat belas peserta yang akan berebut memposting ending terbaik versi masing-masing secara bersamaan pada hari terakhir.

Dan itu adalah sesuatu yang amat mbelink, mengingat sebuah karya umumnya hanya menggunakan satu atau dua sudut pandang saja.

Itupun masih ditambah satu ‘sudut pandang unik’ yang dibuat oleh peserta nomor sembilan. Saya sebut unik karena keberanian dia menggabungkan seluruh sudut pandang yang pernah ada –termasuk juga kisah serta para tokohnya- ke dalam satu kesatuan utuh pada satu karakter tokoh, yang langsung membuat riuh kolom komen juga inbok peserta.

Untuk mengecek lebih lanjut, sila klik kumpulan karya peserta pada link ini, dan nikmati satu-persatu karya peserta yang gurih-gurih syedap menggoda itu...^_

***

 

Edisi Perdana Peserta Awal, Beberapa Kelebihan dan Kekurangannya.

Edisi perdana event fikber FC langsung diawali karya serius bertitel “Malam Bulan Mati, Balkon, dan Ciuman” yang sempat membuat peserta lainnya meringis ngeri seperti yang terekam dalam artikel “Event Fikber, Seru dan Mendebarkan!” karya salah satu peserta event.

Juga artikel dari peserta yang berbeda lagi, yang sengaja dibuat khusus demi menjawab beberapa pertanyaan serta menangkal ‘gugatan’ atas karya buatannya, pada artikel “Belajar Diri pada Fiksi Bersambung”, yang kembali mengundang masukan baru tentang efek dari artikel penjelas, yang biasanya justru menjadikan karya tersebut 'terpenjara' versi penulis, dan memaksa pembaca untuk surut menginterpretasi ulang sesuai 'dasar' yang dimiliki. Atau meminjam bahasa penulis artikel tersebut: Konsekuensi menulis penjelasan itu bisa seperti yang mas Ahmad katakan… Karya penjelas malah membuat teks utama menjadi mandeg.

Tapi sebagai ajang fikber, artikel ini tentu saja menjadi penunjang yang amat bermanfaat, yang sekali lagi, tolong jangan dijadikan patokan mati, karena bagaimanapun juga, sebuah karya pada akhirnya bukan lagi milik penulisnya ketika telah dilempar ke tengah pasar...^_

Kembali kepada tema utama…^_

Karya pembuka yang sangat ehem dari peserta pertama. Bergenre romantic, yang sepertinya pertengahan antara Domestic Drama dan Mainstream Romance.

Ada beberapa kelebihan yang patut diapresiasi dari karya ini, yaitu:

Pertama, pemilihan judul karya yang tidak sekedar oke, melainkan juga wow.

Mengapa judul perlu mendapat perhatian?

Menilik kejadian yang pernah dialami oleh “Surga yang Tak Dirindukan” karya Asma Nadia, banyak yang sebelumnya tak menduga bahwa karya tersebut pernah tak laku dan menumpuk di gudang selama dua tahun lamanya.

Tentu saja ada cukup banyak faktor yang menjadikan karya tersebut tak disambut pasar, walaupun penulisnya telah memiliki nama beken yang cukup menjual. Dan salah satunya adalah: Judul. Karena judul awalnya memang amat tak kinclong, yaitu :“Istana Kedua”.

Kedua, pemilihan sudut pandang orang pertama tunggal.

Sudut pandang ini merupakan pilihan yang paling banyak diminati, dengan kelebihan utama di mana penulis bisa sangat leluasa mengungkapkan apapun yang dirasakan serta dipikirkan oleh tokoh ceritanya. Walau sudut pandang ini menyimpan kelemahan yang cukup besar, namun hal itu akan diterangkan pada bagian setelah ini.

Ketiga, alur yang mengalir dan amat natural.

Alur atau plot adalah kejadian atau peristiwa yang terjadi dari awal hingga akhir cerita. Alur dalam karya ini mengalir, natural, tidak dipaksakan, serta mampu menampilkan kejadian-kejadian yang mengandung konflik dengan amat menarik, sehingga mendorong pembaca untuk menyelesaikan cerita yang tengah dibaca.

Keempat, penggarapan konflik ‘biasa’ yang berhasil disulap menjadi ‘luar biasa’.

Pada point ini penulis seperti ingin menunjukkan bahwa tak perlu menciptakan konflik yang aneh-aneh demi membuat sebuah karya menjadi luar biasa, karena bahkan hanya dengan bermodalkan konflik yang umum terjadipun, jika memang piawai dalam penggarapannya, akan tetap membuat sebuah karya menjadi istimewa. Dalam hal ini saya menilai penulis telah amat berhasil melakukannya.

Kelima, ending yang bikin blink-blink.

Sila baca sendiri karya tersebut, dan rasakan tendangan tanpa bayangan di bagian endingnya…^_

Tapi tentu saja akan selalu ada kekurangan dalam sebuah karya, karena memang tak akan pernah ada yang sempurna, jika itu masih buatan manusia.

Dan beberapa kekurangan tersebut akan saya bahas di sini, semata demi perbaikan sebuah karya, dan bukannya Hate Speech (Ujaran Kebencian) yang memiliki kecenderungan untuk melakukan ad hominem (menghina), yang biasanya menyerang tidak hanya karya namun juga melebar menyasar penulisnya, yang mungkin lebih tepat bila disamakan dengan black campaign (kampanye hitam) daripada disebut sebagai kritik yang bersifat membangun. Tolong digaris bawahi paragraf yang ini, agar ke depannya kita semua tak lagi terlihat konyol menyebut pembusukan yang kita lakukan sebagai salah satu bentuk kritik penuh sayang…^_

Tapi khusus untuk kekurangan yang berhubungan dengan masalah EYD, typo, tanda baca, kata baku serta teknis penulisan yang lainnya, sejak awal saya tidak berminat untuk terlalu mempermasalahkannya. Lagi pula, hal itu sudah pernah dibahas tuntas oleh Mbak Sekar Mayang selaku editor FC pada artikel “Mengapa Editor FC Tidak Pernah Menurunkan Tangan Besinya?”, juga pernah disinggung sekilas pada artikel saya yang lebih dulu dengan judul “Mengapa Karya Burukpun Berhasil Menjadi Juara?”.

Jadi, untuk masalah typo dan kawan-kawannya, saya lebih suka untuk tidak membahasnya. Biarlah itu menjadi usaha semasing penulis dalam meningkatkan kecakapan menulisnya…^_

Beberapa point dalam karya ini yang masih butuh untuk diperbaiki, antara lain:

Pertama, opening yang terlalu panjang, bertele-tele serta membosankan.

Mengutip ucapan Isa Alamsyah yang menjadi suami sekaligus partner menulis Asma Nadia, opening sangat penting dalam sebuah cerita. Setiap cerpen harus dimulai dengan opening yang bagus. Dalam novel, setiap bab harus dimulai dengan opening yang bagus. Dalam non fiksi juga demikian. Tapi sayangnya, banyak penulis tidak memahami pentingnya opening.

Masih menurut beliau pada bukunya yang berjudul “101 Dosa Penulia Pemula”, setidaknya ada delapan dosa dalam opening yang beliau soroti, yang jika penulis terhindar dari delapan kesalahan tersebut dalam opening, niscaya tulisan akan memiliki opening yang jauh lebih bagus.

Ada beberapa contoh opening ‘tidak biasa’ yang mungkin bisa dijadikan pengayaan:

Andai dusta berwujud makanan, boleh jadi akan kutelan. (Cerpen Telanjang- Ken Hanggara).

Sambil bermain aku melirik topi lakenku. Kulihat sebuah kursi roda. Duduk di kursi roda itu, seorang tua yang wajahnya tak bisa kulihat dengan jelas karena memakai topi laken seperti aku. Rambutnya gondrong dan sudah memutih seperti diriku, namun ketuaannya bisa kulihat dari tangannya yang begitu kurus dan kulitnya yang sangat keriput. Tangan itulah yang terangkat dan tiba-tiba menggenggam sebuah gitar listrik yang sangat indah.
(Cerpen Ritchie Blackmore- Seno Gumira Ajidarma)

Kedua, Terjebak pada kelemahan utama sudut pandang orang pertama tunggal.

Umumnya penulis yang memilih sudut sudut pandang ini akan terjebak menjadi sangat asyik menceritakan (tell) keseluruhan cerita, sehingga luput dalam upaya menunjukkan atau memperagakannya (show).

Akibatnya cukup jelas, yaitu karya yang dibuat menjadi kurang dramatis, dan bukannya tidak mungkin akan mendatangkan kesulitan memperkenalkan jenis kelamin tokoh utama dan tokoh pendamping. 

Ketiga, penggunaan nama tokoh yang bersifat unisex.

Dalam karya ini terlihat jelas betapa merugikannya penggunaan nama tokoh yang bersifat unisex, seperti Ran, Aulia, Wahyu, Andri, Yana dan sebagainya, karena efek pertama yang akan timbul adalah kebingungan yang dialami oleh pembacanya.

Walau memang kekurangan tersebut bisa ditambal dengan narasi tambahan yang bersifat menjelaskan jenis kelamin tokoh, tapi umumnya hanya akan berakhir menjadi paragraf tak efektif, memberi sebuah kesimpulan bahwa jika memang bisa dihindari, kenapa pula harus tetap dipertahankan?

Serta beberapa kekurangan lain yang saya pikir, biarlah penulisnya sendiri yang berusaha menemukannya, untuk kelak dilakukan perbaikan secukupnya karena untuk sebuah karya yang memang memiliki embrio yang amat bagus, alangkah sayangnya jika dibiarkan apa adanya dengan segala kekurangan di dalamnya.

“Karya yang sudah dipublish memang kasarnya jadi milik umum. Yang penting hak prerogatif ada di tangan penulisnya kan, Bay? Hehehe...”

Tentu saja di tangan penulisnya. Sebab jika di tangan Pak Erte, saya khawatir rapat warga akan berlangsung menjadi amat liris serta penuh konflik, yang misalnya karena banyaknya tokoh fiktif yang turut andil merecokinya…^_

“Tapi mengenai opening yang baik dan buruk mungkinkah lebih karena selera pribadi, Bay? Buktinya banyak juga tuh pembaca yang menyukainya.”

Barangkali di sinilah kita semua harus mulai belajar untuk dapat membedakan, antara statement yang bersifat pendapat pribadi –yang ladzimnya memang bertabur justifikasi, dengan pernyataan yang berbasis pengetahuan, agar kelak kita tak lagi terlihat amat menggebu namun sejatinya berisi hanya debu…^_

“Tapi karya saya kan di-HL admin K, Bay, masa sih segitunya?”

Terus, kalo di-HL admin K kenapa? Langsung menjadi amat istimewa menyamai kitab suci, begitu? Lha wong admin K sendiripun berkali-kali saya sentil sampai sayanya bosan sendiri, hingga akhirnya saya titipkan sentilan terakhir untuk para admin kanal fiksi yang terhormat, melalui admin kanal media, dalam artikel “Membersihkan Lendir-lendir Sastra di Selangkangan Fiksi”, yang anehnya justru diapresiasi oleh mereka hingga mendapat hits yang tak hanya lewat begitu saja.

Hal yang sama saya lakukan pula terhadap Desol, yang entah saat terjadinya tengah berperan sebagai admin FC atau hanya menjadi dirinya sendiri. Sementara saya tak lebih dari sekedar Kompasianer yang ketenggengan karena memaksa untuk belajar membuat cerita silat, hanya karena mengingat amat minimnya pegiat genre tersebut di Kompasiana.

Yang saya ingat, saya sentil Desol dengan cukup pedas, justru pada saat duet sadisnya bareng Si Prof tengah mencapai puncak kibar yang mengundang rentetan pujian amat memabukkan. Dan saya amat yakin bahwa jika sentilan tersebut dilakukan oleh orang lain, akan langsung memicu kemarahan si sadis tersebut. Apalagi dilakukan dengan gaya melawan arus, hingga menjadi satu-satunya orang yang menyentil di tengah derasnya gelombang pujian.

Mengapa saya banyak menyentil admin K kanal fiksi? Karena saya melihat ada kecenderungan penjaga gawang kanal fiksi -pada waktu itu- secara perlahan lebih mengarah pada ‘menggemari karya berunsur seksual’ sebagai acuan sebuah karya di-HL atau tidak.

Dan itu bukanlah sesuatau yang sehat dan memicu kebanggaan, terutama jika mengingat pada saat yang bersamaan, ada cukup banyak karya-karya yang bisa untuk tetap bagus, berisi serta menarik, tanpa perlu menggoreng unsur purba tersebut, yang akhirnya mesti tersingkir karena kursi utama di K karena telah penuh terisi.

Kenapa saya menyentil Desol dan duet sadisnya, padahal Desol dan Prof pada saat itu cukup kental pertemanannya dengan saya?

Jawabannya cuma satu saja, yaitu justru karena mereka adalah teman saya yang memiliki beberapa kelebihan dalam karya buatannya, sehingga akhirnya mencuri perhatian si sengak ini.

Saya tertarik dengan genre yang digarap oleh Desol, yang saya yakin tak akan berkurang keindahannya ketika dia murni hanya bersandar sebagai pegiat fiksi psikopat, karena dia memang memiliki ‘warna’ khas di genre tersebut, yang kelak jika sempat akan turut saya bedah berdasarkan karya pertama pada event fikber FC gelombang 2.

Hal yang tak jauh berbeda terjadi pula pada Si Prof, yang semula menggemari puisi-puisi cinta nan liris melankolis, lalu bermetamorfosa tiba-tiba menjelma kupu-kupu sastra yang cantik sayap katanya.

Dan hal itu amat saya apresiasi, terutama jika mengingat beliau yang waktu itu lebih banyak bermain di artikel cadas layaknya seorang preman artikel, lantas berubah drastis menjadi amat manis namun tajam menggigit seperti remaja baligh yang baru mengenal cinta… *Eaaa…^_

Atas dasar dua alasan tersebut saya pikir cukup kuat untuk saya bertindak sebagai teman mereka yang sebenarnya. Mengeplak jidat pada saat mereka terlalu mumbul, hanya demi tetap bisa membumi.

Bagaimana jika mereka berdua –termasuk juga admin K serta sosok-sosok yang pernah saya sentil- meradang?

Gak gue pikirin. Saya hanya berpikir, bahwa saya telah menuntaskan kewajiban saya sebagai teman mereka. Perkara mereka menerimanya dengan suka cita, hanya dapat diartikan bahwa kami memiliki ‘radar yang sama’. Sementara jika mereka meradang, juga bukan sebuah masalah yang amat besar. Karena toh awalnya kami tak saling kenal, yang ketika kemudian kenal lalu berakhir menjadi tak saling kenal kembali, yah cuma sekedar impas…^_

Yang saya tahu, admin K memang memiliki parameter tersendiri dalam menentukan apakah sebuah karya layak HL atau tidak. Mungkin saja berdasarkan keunikan, kebaruan, dan atau kelebihan lain yang ada dalam suatu karya. Dan itu jelas menjadi kewenangan mereka yang paling tak bisa untuk di-veto. Tapi bukan berarti semuanya kemudian menjadi penilaian yang bersifat final, karena ladzimnya dalam urusan-urusan yang tidak bersifat eksak, selalu ada celah untuk menghadirkan ‘kebenaran kedua’, yang bisa saja berasal dari saya atau mungkin lewat kompasianer yang lainnya…^_

“Terus, lo siapa, Bay, berani-beraninya melakukan ini semua. Emang karya lo dah paling bagus dan anti kekurangan?”

Saya hanya berpikir sederhana, jika yang pantas memberi nasehat adalah orang yang tak pernah berbuat salah, bahkan para nabipun ‘mungkin’ akan langsung berpikir ulang ketika ingin memberi nasehat. Lantas siapa yang akan menasehati kita semua? Sementara seiring bertambahnya usia dan kehormatan, kita semua kemudian rindu untuk dinasehati oleh orang lain, sesuatu yang kian mustahil mengingat posisi sosial kita yang kian meninggi di mata umum, menjadikan tak semua orang berani mengambil resiko untuk bersebrangan.

Tiap-tiap orang memang ‘hanya’ akan mendapatkan apa-apa yang telah dia usahakan, yang tidak seorangpun bisa memaksanya dan atau menduplikasinya ke orang lain. Tapi saya memiliki satu mantera ampuh yang barangkali ada manfaatnya jika dibagikan melalui tulisan ini. Dan kalimat sakti tersebut adalah:

Jika kau ingin mendapat lebih, rendahkan cangkir pembelajaranmu, Kawan, niscaya kau tak akan pernah merasa kalah sekalipun… selain lebih memaknainya sebagai: Belajar...^_

Salam fikber, salam bangga penuh salut, salam belajar fiksi bareng…^_

Bye-bye from Bay.

 

Secangkir Kopi Bedah Karya Fikber Bagian Pertama, 24 Nopember 2015.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun