“Konon kiamboh tersebut tak sengaja disempurnakan oleh Mahaguru Jati, yang kebetulan mampir ngombe setelah terlunta-lunta akibat kecopetan di Pasar Klewer…” lanjut Ki Plenyun. “Tapi itu kisah yang lain lagi, karena sekarang aku akan menceritakan kepadamu tentang asal mula teror setan jempol yang kembali marak di kampung ini.”
Mendengar setan jempol diucapkan Ki Plenyun, Ben sontak menggeser duduknya ke arah depan, takut bercampur penasaran.
“Jauh waktu sebelum ini,” lanjut Ki Plenyun, “Ada seorang pemuda yang kehilangan ibu jari tangannya. Lalu…”
Suatu hari, pemuda tersebut bermimpi bahwa tengah malam ibu jarinya yang hilang merayap ke dalam selimut dan berteriak “Dor!” mengagetkan jari-jemari lain yang masih tersisa di tangannya, yang tengah pulas bersama tubuhnya.
Karena terkejut, serentak jari-jemari si pemuda berhamburan meninggalkan tangan.
Jari telunjuk berlari menuju panggung politik dan menunjuk apa saja serta siapa saja yang dirasa tidak sejalan.
Lain halnya dengan jari tengah. Karena perangainya agak sarkas, jari tengah memilih untuk mengadu nasib ke Amerika, dan langsung menjadi simbol caci-maki anak muda di sana dengan cara mengacungkannya ke muka lawan.
Nasib paling manis agaknya dialami oleh jari manis. Ia terus dicari setiap kali ada yang ingin bertunangan, atau langsung dilingkari cincin kawin bagi para jomblo yang ngebet melepas kesendiriannya yang mengenaskan.
Dan takdir terburuk harus dialami si bungsu kelingking, yang terjebak ritual janji kalangan mafia Jepang, hingga harus berkali-kali dipenggal dari tangan ke tangan.
“Begitulah Hikayat Keluarga Jari yang pernah aku dengar dari cersil usil menyentil, murni dari tangan pertama pengarangnya, yang konon bernama Ahmad,” ucap Ki Plenyun sambil menggunting sumbu api sentir yang tergantung di dinding geribik, membuat penerangan ruangan menjadi agak terang.
“Bagaimana dengan kisah si ibu jari biang kerok tersebut, Ki?” tanya Ben. Hatinya penasaran luar biasa sebab baru kali ini ia mendengar ada jari-jemari yang berlaku tak ubahnya seperti manusia.