menghadap kebarat, tegapku miring
dan seperti terperah di kedalaman hati
langkahku agaknya tak bisa lebih laju dari sekedar ini
Â
padahal, sungguh!
hatiku terus guruh riuh
tentang kau yang lebih tinggi
yang terasa tak mampu kusambangi
namun sebenarnya jauh lebih dekat dari ruh dalam tubuh ini
Â
lalu serupa pelari yang hanya memburu akhir sebagai tafsir
kemenangan, ragaku condong dan berbungkuk dengan amat kikir
menyesat hati dengan begitu banyak kengiluan yang nyeri mengikir
Â
kenapa?
apa ini?
ada apa dengan aku yang kini?
Â
aku rindu merapat lebih dekat
tak peduli meski itu berjarak sejengkal lebih ke muka
tapi semuaku ternyata mundur tanpa lagi mampu kuatur
Â
beri aku rambu
demi menelusuri jalan cintamu
agar ramai duniaku
tak selalu menjelma lampu
jalan, yang berkilau
dengan pendar nan merah melulu
aku butuh sesuatu semacam guru
yang bisa menuntunku mengurai rindu
hingga mampu kureguk setiap helainya yang kian syahdu
Â
hatiku berkeras tak hendak tentu
memberiku gelisah pada setiap gerbang lima waktu
ingin sampai
tapi shalatku tak pernah berhasil menjamahmu.
Â
Secangkir Kopi ‘Bercinta dengan Tuhan #3’, Thornvillage-Kompasiana, 15 Oktober 015.
Kupersembahkan puisi ini untukmu, Bening Embun…^_
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H