Kutelusuri tulisan demi tulisan dengan perasaan campur-aduk. Banyak kisah cinta yang aneh tercatat di sana. Cinta yang lucu, yang kadang memberi bonus haru serta mengandung pukulan terakhir yang kelam khas pergumulan bathin si pendosa meraih surga, hanya dengan berbekal kebodohan yang dimiliki. Dan semua itu mengingatkanku pada menu gado-gado buatan Mbak Inem, yang terlihat enak dan ramah namun siapa sangka menyembunyikan pedas yang sangat di setiap gigitannya?
Akhirnya kutemukan juga tanggal penulisan terbaru. Mmh… cerpen rumah tangga. Sejak kapan suamiku berganti aliran menggarap cinta yang dewasa?
Tapi baru saja aku membaca prolognya, ketika aku merasa seperti mengalami déjà vu berkepanjangan. Kenapa tokoh dan rangkaian mirip dengan kehidupanku?
Dengan perasaan tak karuan kubaca cerpen tersebut dengan agak bergegas. Pernikahannya mirip dengan pernikahanku. Suaminya juga mirip dengan suamiku. Bahkan penggarapan adegan kesehariannyapun tak lebih dari catatan peristiwa yang pernah terjadi antara aku dengan suamiku. Tentang sukanya. Dukanya. Juga tentang pahit dan getirnya biduk rumah tangga kami selama beberapa tahun ini. Hingga pada suatu paragraf tanpa sadar aku menjerit.
Dalam cerpen itu kulihat sang suami yang menangis histeris, ketika mendapati istrinya tewas dalam kecelakaan lalu lintas sepulangnya mereka setelah memberi penyuluhan trafficking anak-anak di pinggiran kota.
Tanpa sadar aku mundur dari laptop. Dan aku kembali menjerit ketika teringat kejadian yang sama persis dengan adegan di cerpen itu. Tentang obrolan hangat antara aku dengan suamiku dibangku bus, sesaat sebelum aku pulas kelelahan buah perjalanan jauh.
“Kau adalah sosok terbaik yang pernah kumiliki, Ning,” gumamku mengulang percakapan cinta terakhir yang dibisikannya ke telingaku, yang sama persis dengan percakapan yang ada di laptop.
Hingga pada bagian titimangsa aku membaca kalimat yang seperti meledak di bola mataku.
Thornvillage, Mengenang seratus hari berpulangnya cinta kepada Sang Maha Cinta.
Jadi.. aku…? Jadi… alasan suamiku mengabaikanku…?
Tangisku meledak, bertepatan dengan terbukanya pintu kamar. Suamiku agak tertegun melihat laptopnya menyala.