Ci menuruti. Namun belum lagi genap sedetik Ci telah memalingkan pandang ke arah lain dengan dada berdebaran tak karuan.
“Please, Ci...” kembali Sa memohon.
Dengan menguatkan adzam serta berlindung dari segala yang berpotensi buruk, kembali Ci memandang, dan kembali hati Ci menyerupa debur ombak, yang kini bahkan hingga membuat tubuhnya sedikit berguncang. Ah, alangkah pekanya perasaan seorang wanita...
Semakin berdegup kencang, semakin Ci lawan dan tahan, dan semakin tubuhnya gemetar hingga ke tulang sumsum.
Inikah cinta? Ataukah nafsu? Hasrat birahi? Atau original sin? Mungkinkah the most favourite mistake? Atau rindu? Atau hati yang berpadu? Atau...
Tiba-tiba saja Ci menjerit keras. Tubuhnya ambruk menuju bumi. Napasnya tersengal. Wajah pucat, dengan bibir yang sedikit gemetar.
Sekuat tenaga Ci berusaha untuk menahan tangis. Namun kesedihan bukankah amat bersaudara dengan airmata bagi seorang wanita?
Dalam mata Sa, Ci tidak melihat sosok Yang, melainkan justru melihat dirinya sendiri. Dan dalam telaga bening itulah Ci melihat dirinya menyerahkan tubuh dan jiwa secara utuh, juga hati dan pikirannya: Kepada Ben... untuk segera dinikahi secara syar’i.
Namun pada telaga bening itu pula Ci melihat perulangan sejarah!
Ci melihat dirinya berubah menjadi Mulan, dengan kakak borju yang Direktur Bank Nasional itu menjelma ayahnya, atau ibunya, kakaknya, adiknya, sepupunya, pamannya dan entah siapa lagi yang berebut untuk mengambil posisi, yang bersama-sama lalu membentuk sebuah koor panjang yang amat sumbang, “Cuma pemuda dewasa biasa, dan tak boleh menikah ala koboi...!” Sebab Muhammad memang telah lama wafat. Sebab Ummu Sulaim juga telah menyusul beliau. Dan surga belumlah menjadi parameter yang paling utama: Sereligius apapun kita dan keluarga.
“Kau telah mengerti mengapa aku terus berlari, Ci...?” tanpa sadar Ben rengkuh Ci untuk membangunkan dan menghiburnya, yang seketika Ben lepaskan kembali mengingat ada batas di antara mereka.