Selera mungkin pemicu utamanya. Juga kecenderungan cara kita memandang sesuatu, yang biasanya tak pernah obyektif, yang selalu dilandasi dengan persepsi yang kita miliki sebelumnya tentang sesuatu itu. Jadi, sebagus apapun artikel tentang bola, tetap saja membuat saya pusing membacanya, karena memang persepsi awal yang ada dalam diri saya tentang bola adalah begini juga begitu. Dan hal itulah yang kemungkinan besar terjadi pada rekan Kompasianers yang kurang menyukai tulisan bergenre puisi, sebagus atau semudah apapun pilihan kata yang digunakan di dalamnya. Karena memang bukan itu masalah utamanya.
Perlukah bahasa fiksi dirubah, hanya demi tidak terkesan ‘sok pintar’ dan berbeda dengan artikel yang lainnya? Menurut pendapat saya pribadi tidak perlu, karena di situlah letak keberagaman dari Kompasianers.
Saya tidak bisa membayangkan, jika tulisan fiksi dibuat menggunakan bahasa politik yang cenderung lurus serta kaku, atau ulasan teknologi lengkap dengan istilah canggihnya, misalnya. Lalu bersamaan dengan itu kita paksa para pakar penulisan eksakta dan praktis seperti matematika dan kedokteran, menuliskan penjabaran rumus serta tahap-tahap bedah tubuh menggunakan bahasa fiksi, juga penulis kuliner menyajikan rangkaian resep plus cara mempraktekannya dengan gaya politik yang tajam dan actual, “Si garam telah terbukti digunakan sebesar satu sendok teh ke dalam minyak mendidih tanpa korupsi sedikitpun oleh koki pelaku di dapur TKP.”
Mungkin kita hanya akan bilang, “Kiamat udeh makin dekat aje, Bro…” pasca membacanya…^_
Benarkah Artikel Fiksi di Rubrik Fiksiana Selalu Menadi Anak Tiri?
Ya. Benarkah?
Tergantung parameter apa yang kita gunakan, juga tergantung rubrik kanal yang dipakai untuk membandingkannya.
Jika jumlah buku yang berhasil diterbitkan dari seluruh kanal yang ada sebagai perbandingannya, saya optimis Artikel fiksi di rubrik fiksiana bukanlah anak tiri. Mungkin anak bungsu, atau setidaknya anak tengah, walau memang agak sulit untuk menjadi anak sulung…^_
Jika jumlah pembaca sebagai tolok ukurnya, artikel fiksi memang terkesan bayi stagnan. Apalagi jika dibenturkan dengan kanal favorit seperti politik, misalnya. Jelas langit dan bumi. Tapi bagaimana jika dijejerkan dengan kanal yang sekelas? Kanal hijau misalnya, atau juga artikel-artikel numpang lewat dari kanal besar yang gagal masuk kamar ‘Highlight’ atawa ‘pilihan editor’.
Artikel fiksi terakhir saya yang diposting dalam Bahasa Jawa, yang tentu saja cuma numpang lewat karena mungkin Bang Admin yang bertugas kurang memahami bahasa daerah, walau bisa juga karena isinya yang memang belum bermutu. Tapi jika dilihat dari klik viewnya cukup segar. Sekitar 130-an pembaca, yang bahkan jika dibandingkan dengan artikel politik yang sama numpang lewatnyapun tetap jauh lebih besar, terutama yang benar-benar lewat dan hanya menghasilkan klik view belasan orang atau paling mentok 40-an.