Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Even Fiksi Kompasiana dan Beberapa Kesalah-pahaman tentang Fiksi

20 Juli 2015   01:50 Diperbarui: 20 Juli 2015   01:50 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi di era yang masih asli saya pahami sebagai cara mendongeng, dimana pembaca seakan dibawa lari ke sebuah bangunan imajinasi buatan penyair, yang menceritakan tentang sesuatu, tanpa adanya keterlibatan pembaca dan penulis di dalamnya (lihat kembali puisi paskah Jokpin).

Tak ada sudut pandang orang pertama, juga tak menggunakan kata ganti orang ketiga.

Hanya dongeng. Hanya ‘jalan gelap’ menuju sesuatu secara samar juga buram, yang memaksa pembacanya untuk amat tertatih menapaki pesan juga isi sebenarnya yang ingin disampaikan oleh penyair, setelah sebelumnya pembaca terlebih dahulu tersesat di jalan diksi (pilihan kata), terjungkal di jembatan metafora (analogi/perumpamaan), serta tersaruk-saruk di tikungan majasnya.

Hingga akhirnya Neno warisman datang, dan menawarkan definisi baru tentang seni berindah-indah kata, yang kemudian beliau namai sebagai: Tuturan kata.

Kenapa tuturan kata? Karena itu bukanlah puisi. Karena itu memang hanya cara kita menuturkan sesuatu dengan gaya yang mirip puisi.

Menurut penyair gaek Taufik Ismail, dalam pengantar buku Izinkan Aku Bertutur buatan artis yang memiliki nama asli Titi Widoretno Warisman tersebut, "Cara bertuturnya panjang-panjang, karena dia suka bicara banyak. Tapi rasa puitisnya ada dan ritmenya terpelihara,"

Mari kita intip sekilas buatan DP Anggi II, salah satu alumni kompasianer yang berhasil menerbitkan buku puisi ‘raudah-raudah sajadah’ berikut ini.

 

"Tidak saling bicara bukan berarti tak peduli

Bagiku suara akan lenyap tanpa permisi

Sementara, doa adalah bahasa hati

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun