"Aku ingin menjadi penulis terkenal...!" teriak salah satu dari sobat muda ini, berlawanan dengan teriakan nasib yang tergurat di garis tangannya, yang cuma bisa dibaca sebagai sosialita belaka.
Lantas berderet-deret telapak tangan kiri direntangkan di depan muka saya, seakan cukup dengan itu maka tersingkaplah segala rahasia hidup dan masa depan mereka.
"Ini cuma permainan," ucap saya, tetap saja tak menyurutkan minat mereka, sebab mengintip kisah hidup seringkali terasa jauh lebih menakjubkan dari hidup itu sendiri.
Segeralah pertunjukan dipentaskan.
"Hidupmu berkelok," gumam saya pada salah satu mereka. Sementara pada yang lainnya saya katakan, "Kau kaya, tapi berkat pasangan hidupmu."
Atau pada kesempatan yang berbeda kembali saya katakan, "Wajah innocent-mu tak bisa menyembunyikan cintamu yang gemar bertualang."
Tapi seperti ladzimnya semua permainan, dolanan inipun kemudian hanya berakhir dengan tawa saja. Kadang penuh gairah kemenangan, tak jarang tawa skeptis atau cuma nyengir malu sebab rahasia terdalam akhirnya menjadi konsumsi bersama.
Tapi tulisan ini seketika berhenti saat terdengar gugat dari pembaca, yang entah berasal dari zona yang mana.
"Enggak syar'i, Bay... Dosaaa...!!!"
Saya tatap lekat-lekat manik mata si pembaca yang menggugat ini. Lama. Dalam, sambil berbisik dalam hati dengan penuh sungguh, "Kau bilang permainan kanak-kanak ini adalah dosa... Tapi bagaimana dengan dirimu sendiri, yang tak bosan bermain peran menjadi ‘tuhan’, dengan terus menganggap yang lain hanyalah hamba bagi besarnya ego dan kesombongan ilmumu, pangkatmu, kesucianmu serta banyak lagi waham kelebihan lainnya yang secara sepihak selalu kau klaim cuma milikmu itu...?"
Tapi bisikan itu tetap saja cuma bisikan, yang tak pernah sekalipun saya utarakan ke siapapun. Karena kesia-siaan yang paling besar bukanlah ketika kita melakukan kekeliruan lalu berusaha untuk memperbaikinya.