“Oh, yang itu… Tapi aku lebih suka yang waktu itu, yang tentang itu…” timpal yang lainnya sambil menyebutkan beberapa judul.
“Ya, ceritanya memang bagus,” ucap yang lainnya lagi.
“Bukan ceritanya, melainkan cara ia membawakannya.”
“Benar…!”
Diam-diam Aini ikut menyetujui percakapan itu. Ceritanya memang bagus. Sederhana, tapi dengan pemaknaan yang sangat dalam dan menyentuh. Aini masih ingat kisah dan judulnya: Negeri Para Istri, Mimpi-Mimpi Mumpi, Senyum Sunyi Sumi, Selendang Dendang, Panah Tanpa Arah, juga kisah Ranu dan Seribu Satu Peluru. Aini masih ingat semuanya. Satu persatu. Bahkan jika ada yang meminta, ia merasa mampu untuk menceritakan kembali semuanya. Dengan alur dan gaya yang persis sama! Terutama kisah ‘Negeri Para Istri’ yang sangat ia sukai itu.
Lamunan Aini terputus tiba-tiba ketika seorang pemuda tampil ke atas panggung. Diliriknya arloji sekilas. Tepat pukul sepuluh. Tidak kurang dan tidak lebih. Beberapa saat kemudian ia terlihat serius mengikuti pertunjukan.
***
merpati itu singgah saat senja
menyimpan mendung
kepaknya jelas, tegas mengusir awan
tapi senja memang telah tua