“Uang? Untuk apa? Bukankah Ari sedang tidak minta uang sama Ibu?” polosku.
“Untuk biaya kuliahmu, Ri,” kali ini kakakku yang menjawab.
“Oh, iyyaa…” kutepuk kening keras-keras. Bagaimana bisa aku sepikun ini? Kuliah juga kan butuh uang…!
“Lho? Tapi Ari kan masih punya tabungan, Bu. Kalau tidak salah ada tiga juta. Tuh, disimpan sama Kak Tulip… Iya kan, Kak?”
“Sudah habis, Ri,” suara Kak Tulip terdengar lemah dan penuh perasaan bersalah. “Sudah habis buat bayar kontrakan rumah,” ucapnya lagi.
Syuut. Tiba-tiba saja tubuhku terasa begitu renta. Semua bayang indah yang tadi sempat kubangun, sirna, berganti dengan wajah-wajah sedih yang kini terhampar di hadapanku. Wajah Ibu dan Kak Tulip.
***
Seminggu telah berlalu sejak hari pengumuman. Tak ada kejadian yang terlalu berarti. Semuanya normal-normal saja. Bahkan mataharipun masih tetap tebit dari Timur.
Tapi keluargaku masih menyimpan kesedihan yang dalam sebab aku tak jadi kuliah. Terutama sekali Ibu. Beliau masih terus saja menyesalinya.
“Coba kalau Ibu tidak miskin ya, Nak, kamu pasti bisa jadi orang. Kuliah, jadi sarjana, kerja, terus… masuk TV. Ah, sayang Ibu bukan orang kaya…”
Aku tertawa-tawa saja mendengar ucapan Ibu. Ternyata semua Ibu punya pikiran yang sama, ingin melihat anaknya sukses dan jadi ‘orang’. (Kadang sambil berkaca ketika mandi, kubayangkan wajah ‘orang’ yang Ibu maksud. Apakah ia lebih tampan? Lebih gagah? Apakah ia selalu memakai dasi?). Tapi, siapa sih yang tidak ingin?