Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengintip Prostitusi dengan Lebih Membumi

16 Mei 2015   21:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:54 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perkenalan Pertama.

Saya mengenal dunia pelacuran dengan amat unik. Bermula dari obrolan pembeli rokok dan penganan kecil di warung ibu tentang nama sebuah lokalisasi.

Sebagai anak SD yang masih amat lugu (yang mungkin jauh berbeda dengan anak SD sekarang), saya langsung nyeletuk, “Keren sekali nama tempatnya…!” yang tentu saja langsung dihadiahi semprotan selewatan dari perempuan yang melahirkan saya itu. Tapi, adakah yang salah, ketika dalam benak kanak-kanak saya yang masih amat sederhana, ‘Kalijodo’ lebih menampilkan imajinasi bertemunya sosok perempuan yang menunduk malu-malu dengan tokoh pria idamannya saat berpapasan lalu berkenalan di tengah kali, untuk selanjutnya melangsungkan perkawinan sebagai jodoh layaknya dongeng cinta abadi yang banyak beredar di film dan iklan wisata…?

Koran Bekas sebagai Alas.

Tapi anehnya kejadian itu berlanjut. Tak lama kemudian seorang teman pengajian mengajak saya mengunjungi tempat tersebut. Segeralah kami si bolank-bolank kecil berboncengan sepeda menuju ke sana. Di salah satu ‘hotelnya’ kami berhenti. Saya bertugas menjaga sepeda, dan teman tersebut langsung turun ke hotel impian yang benar-benar tak sehebat ketika masih dalam angan. Sigap sang teman meyibak sedikit terpal rombeng penutup bangunan berbahan baku kardus bekas, seng rombeng dan sebagainya yang sejenis yang entah dengan ilmu pertukangan apa bisa tersulap menjadi semacam petak kamar yang sedikit lebih besar dari ukuran kuburan, yang setelah mengintip cukup lama, akhirnya kami kembali berboncengan sepeda dengan amat biasa, pulang.

“Ternyata cuma begitu saja,” ucap si teman sesampainya di rumah. “Cuma berdinding kardus beralas Koran bekas,” lanjutnya lagi, yang langsung mengundang gelak tawa riuh orang dewasa buah polah aneh kami yang amat tak lazim sebagai anak kecil.

“Lain kali ga boleh begitu, berbahaya…!” hanya itu nasehat terbaik yang mereka berikan kepada kami. Entah begitu seperti apa yang mereka maksud, juga entah bahaya yang bagaimana. Yang jelas, petualangan aneh mengintip dunia pelacuran tersebut ternyata tak pernah bisa untuk sesuai dengan nasehat baik tersebut. Terus berulang, dengan atau tanpa keinginan untuk mengetahuinya seakan-akan kami –atau lebih tepatnya lagi: Saya- memang terlahir untuk mengetahui dunia yang amat berlendir tersebut.

Kali Ini Tak cuma Koran Bekas, Melainkan juga Bangku Warteg dan Pohon Taman.

Beranjak dewasa, kembali saya tertegun-tegun mendengar curhat pribadi yang terlontar dari mulut teman SMP saya, dengan amat bersemangat!

“Cuma goceng, Bay…!” teriak si teman SMP, lengkap dengan sketsa kejadian serta prosesinya yang, menurut pengakuannya, bertekape di Taman Silang Monas.

Agak sulit untuk akal saya waktu itu mencerna ceritanya, sebab pada tahun itu uang sebesar Rp. 5.000,- jelas bukan jumlah yang fantastis. Tapi kok bisa buat begituan, sih? Dan yang lebih mengagetkan lagi, bahkan mereka pada akhirnya mau walau hanya dengan uang receh sebesar dua ribu rupiah…!!! Tentu saja setelah sebelumnya banyak ngeromed ‘itung-itung penglaris‘ atau ‘dari pada ga ada’ dan gerutuan sejenis yang entah apa lagi.

Dimulailah perhelatan konyol berbasis nafsu tersebut. Sekali lagi koran bekas menunjukkan taringnya sebagai alat multifungsi yang amat praktis, yang dengan amat segera terhampar di atas rumput taman. Dan ketika kertas bertinta itu tak ada, bangku kayu panjang khas warteg milik pedagang kaki limapun jadilah. Atau ketika semuanya memang benar-benar tak tersedia, cukup si pelacur bersender di pohon sambil berdiri dengan sedikit mengangkang, lunaslah segala birahi, mengingatkan kita pada fenomena terkini tentang penerbangan berbiaya rendah yang memangkas segala macam yang tak berhubungan dengan terbang. Apa pentingnya kamar hotel, apa urgensinya segala macam pelayanan serta kenyamanan, ketika yang dibutuhkan (serta dijual-belikan) cuma mengeluar-masukkan sesuatu ke dalam sesuatu…? Begitu mungkin yang ada di benak mereka.

Benarkah Tak Terdidik?

Kali ini saya SMU yang ‘nyengir bego’, ketika tahu bahwa si cantik penghuni SMP di lantai bawah gedung Kompleks Pendidikan tak lebih dari seorang ‘pecun’. Harganya? Tak lebih dari kisaran goban. Gocap. Lima puluh ribu. Dengan lokasi Hotel Bookingan yang cuma berjarak tak lebih dari 500 meter!

Dari beberapa teman SMU yang gemar hangout di taman-taman keren basis anak muda gaul bermobil, kembali pengetahuan saya bertambah. Tentang remaja tampan kelas menengah cenderung miskin –juga masih berstatus SMU- yang dijemput oleh seorang tante bermobil waktu kongkow bareng teman. Tak lama berselang remaja tampan tersebut mengendarai NSR (sejenis motor 2 tak keren waktu itu) ke sekolah. Hasil melacur? Emangnya hasil dari mana lagi…?

Dari ‘saksi ahli’ itu pulalah kemudian banyak meluncur tips n trik terselubung tentang cara menjadi ba’on yang baik dan benar sesuai undang-undang keduitan dan juga kenikmatan, yang kadang sambil bercanda kami timpali dengan ucapan, “Ih.. di grepe-grepe sama tante…? Ogah lah yau.. Eh, tapi… En Es Eeeerrrrr…!” yang langsung menjadi trending topic di dunia nyata. Jika sudah begini, masihkah kita kukuh untuk mengatakan bahwa pelacuran adalah dunianya perempuan, dengan lelaki sebagai sosok yang sekedar konsumen…?

Dan banyak lagi kisah pelacuran lainnya yang pernah saya dapatkah dari dunia pendidikan, termasuk kisah siswi-siswi yang memperoleh peringkat terbaik di kelas bukan karena kemampuan belajar mereka, melainkan lebih karena kemauan belajar ‘barang’ mereka terhadap para guru, dan sebagainya. Juga kisah yang jauh lebih syeram di pendidikan tingkat yang lebih tinggi, yang tentu saja tak akan saya ungkap mengingat saya bukanlah Muamar Emka Si Professor Jakarta Under Cover.

Benarkah karena Tekanan Ekonomi?

Kali yang lain saya kembali terkejut, atau lebih tepatnya dikejutkan ketika pagi buta dibangunkan oleh istri pemilik rumah di lincak ruang tamu dengan ucapan, “Mas… Mas… Kawin, yuk…”

Masih dengan mata kriyep-kriyek saya pandangi perempuan muda tersebut, yang mungkin karena tatapan aneh saya membuatnya tak nyaman serta masuk lagi ke dalam rumah, meninggalkan saya yang diam tertegun. Bahkan di pelosok desa yang kerap diberi stempel masih amat suci dan murni inipun, pelacuran tetap saja mengintip: Langsung ke jantung kehidupan orang desa yang terkenal guyup dengan semboyan ‘rumah gue adalah rumah lo, dan makanan gue –kalo emang ada- adalah makanan lo juga’ itu...!

Dengan amat gundah saya tinggalkan rumah tersebut. Bukan masalah tarifnya, tentu saja, yang setelah kejadiannya saya dengar tak lebih dari seharga beras satu atau dua liter. Melainkan karena sebuah pemikiran, tentang, “Sebenarnya ada ga sih belahan bumi di Indonesia yang bebas dari pelacuran…?”

Yang saya tahu, perempuan itu termasuk pekerja keras walau usahanya serabutan. Juga perempuan-perempuan lainnya yang masih berlokasi di desa yang sama atau cuma bergeser sedikit, yang tetap juga sama kerasnya dalam bekerja di pabrik, atau di sawah serta tempat usaha lainnya yang saya pikir cukup leluasa untuk mereka memenuhi hajat sehari-hari.

Melihat dari Sudut yang Lebih Jelas.

Hingga hari ini entah mengapa masih saja beredar segala macam berita tentang pelacur -dan juga dunia kepelacuran- dengan amat gempita, seakan-akan topik tersebut adalah fenomena akbar yang baru saja kita temukan secara tak sengaja kemarin sore.

Seperti hari ini, saya kembali melihat artikel ber-strata ‘Headline’ dari Bung JAC sebagai salah satu admin Kompasiana. Judulnya ngeri-ngeri syedap, yaitu ‘Prostitusi Hadir dalam Genggaman Kita!’ yang seketika menghasut pikiran untuk berkubang tentang makna genggaman yang dimaksud.

Tak ada yang salah dengan artikel tersebut. Bahkan beberapa dari 9 poin yang mewakili artikel pilihan beliau cukup menarik. Hanya saja pembahasannya yang sekedar berpusar di kisaran prostusi online, menjadikan artikel tersebut terkesan lebih menggarap ‘cara berprostitusi’ dan bukannya merambah ranah ‘isi prostitusi’ itu sendiri, mengingatkan saya pada anekdot betapa seringkali kita lebih giat mencari obat sakit gigi alih-alih mencari tahu sumber penyebab sakit gigi itu sendiri.

Salah satu yang paling menarik adalah petikan artikel Bung Felix Tani di poin ke-8, yang mengatakan: Bukan frase “darurat prostitusi” yang menjadi judul artikel tersebut yang menarik untuk dibahas, melainkan sebuah gejala sosial-ekonomi kronis semacam itu berkaitan erat dengan gejala prostitusi, yakni pendidikan, ekonomi, sosial, hukum, dan politik. Lima faktor yang mungkin baik jika diletakkan dalam konteks anomie menurut konsepsi R.K. Merton, yaitu gejala perilaku menyimpang (tidak seturut norma/hukum) untuk pemuasan diri, karena kendala keterbatasan struktural dalam pencapaian tujuan.

Masih menurut Bung Felix, penyebabnya bukan dalam diri subyek “pelacur” (pendidikan rendah, kemiskinan, moralitas rendah, dll.), tapi dalam masyarakat berupa kendala struktural, yaitu kemiskinan akses pelacur pada peluang usaha/kerja formal.

Tapi ketertarikan saya terhadap sudut pandang yang dikemukakan oleh Bung Felix bukan berarti secara otomatis menyepakati, karena dalam dunia yang lebih riil dan membumi, saya tak menemukan implementasi dari gagasan beliau, seperti yang telah diulas pada beberapa poin kecil di artikel ini. Karena- jika boleh jujur- satu-satunya alasan yang membuat seseorang menjadi pelacur adalah: Kekalahannya terhadap dirinya sendiri!

Ada sebuah kalimat yang pernah saya ingat, yaitu bahwa “Telah diilhamkan kepada manusia dalam diri mereka kecenderungan untuk melakukan kebaikan dan keburukan”. Dan dalam banyak versi, dua hal tersebut selalu bertarung. Kadang yang pertama yang menang, walau tak jarang yang kedualah yang keluar sebagai juara. Dan saya pikir, itu pula yang terjadi ketika seseorang akhirnya memilih untuk menjadi seorang pelacur. Karena kemiskinan, tekanan ekonomi dan sebagainya, bukanlah faktor terkuat yang sanggup merubah seseorang dari sosok yang tadinya baik menjadi amat buruk. Sama seperti kesepakatan empirik mengenai mental template unik yang dimiliki oleh nyaris seluruh masyarakat Indonesia, yang tak akan pernah bisa diubah melalui gempuran peradaban dan atau budaya apapun.

Apakah pelacuran dapat dihilangkan dari Indonesia? Walaupun terdengar amat menyebalkan, tapi saya hanya mampu menjawab: Tidak.

Melacur tak ubahnya ‘nakal’. Dan tindakan terbaik menanggulangi kenakalan adalah menasehati. Jika tidak mempan, alternatif terakhir tentu saja memberi hukuman yang dapat menciptakan efek jera. Hanya saja institusi pendidikan serta pranata moral lainnya yang diharapkan mampu untuk memberi nasehat yang baik, justru berbalik menikam dengan begitu banyak kasus serta begitu banyak oknum pelaku. Tak peduli apakah itu institusi pendidikan negeri, swasta, atau yang berbasis religi sekalipun seperti pondok pesantren dan juga kalangan gereja.

Bagaimana dengan hukuman? Saya jawab: Lebih tidak mungkin lagi, mengingat norma dan hukum adat yang kian hari kian permisif. Juga pasal-pasal dalam hukum, yang amat tak mungkin mampu menciptakan efek jera mengingat hukuman kurungan terlama hanya satu tahun, dengan denda yang cuma sebesar Rp. 15.000,- yang mungkin setelah dikonversi ke hitungan terkini menjadi maksimal hanya lima belas juta rupiah. Dan itupun ditujukan kepada 'Kepala Suku' nya, dan bukan pelacurnya itu sendiri.

Bukankah hukum bisa dirubah? Dapat diamandemen?

Saya jawab: Dapat. Tapi pada akhirnya cuma akan sedikit berbeda saja, terutama mengingat para penggodok hukum dan atau undang-undang yang tak lagi sungkan untuk mengatakan, bahwa pelacuran adalah sesuatu yang lumrah demi menyalurkan kepuasan. Lantas dapatkah kita mengharapkan adanya perubahan besar dari mereka, mengingat sebagian mereka bahkan dengan gagah berani serta terang-terangan mengatakan tak keberatan bila harus menggunakan…?

Satu-satunya alternatif terbaik yang dapat kita perbuat adalah: Berusaha sedapat mungkin untuk tidak lagi menjadi pelacur. Tidak lagi melacurkan kehormatan hanya demi sesuap nasi. Tidak lagi melacurkan harga diri hanya untuk bisa disebut sebagai Si Hebat. Tidak lagi melacurkan pengetahuan, ketrampilan serta pengalaman, hanya demi merasa dilegalkan sebagai Sosok Termahal dengan kemampuan yang super mumpuni. Serta tidak lagi dan tidak lagi lainnya yang semakin menegaskan bahwa kita –ternyata- tak lebih berharga dari mereka yang katanya pelacur kelamin. Karena sejatinya, pelacuran bukan lagi hanya sekedar hadir dalam genggaman kita, melainkan pada banyak kesempatan justru kita sendirilah pelacur itu…

Semoga setelah ini kita semua dijauhkan oleh Allah dari yang itu. Aamiin.

Secangkir Kopi Prostitusi-May015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun