Tidak seperti salat tarawih saat ini yang jamaah banyak sampai ratusan, dulu waktu penulis masih kecil jumlah jamaah yang ikut salat hanya puluhan bahkan belasan orang, karena memang waktu itu orang -orang belum banyak yang menjalankan ibadah secara sempurna.
Waktu setelah salat tarawih dan witir ada beberapa bapak yang mengikuti tadarus Al-Qur'an, kami anak-anak masih belum banyak yang bisa membaca Al Qur'an secara lancar sehingga tidak dibolehkan untuk ikut tadarusan.
Tidur di Masjid Agar Bisa ikut Keliling KampungÂ
Saat malam setelah tarawih anak menuju ke lapangan atau ke sawah mencari makanan buah-buahan milik petani seperti mangga , mentimun, atau apa saja yang bisa dimakan ( ini tergolong perbuatan yang tidak baik) karena mengambil milik orang lain, tapi banyak yang melakukan saat itu.
Malam harinya anak-anak sekitar 8-10 tidur di masjid, dengan harapan bisa ikut keliling kampung untuk membangunkan warga kampung saatnya makan sahur.
Waktu itu belum ada Televisi seperti saat ini, sehingga warga kampung berharap ada yang membangunkan saat sahur, itulah yang kami (remaja masjid) berkeliling kampung sambil berteriak sahur, sahur, sahur sambil membawa kentongan sebagai tambahan bunyi-bunyian untuk membangunkan warga kampung.
Setelah makan sahur kami anak-anak ikut jamaah salat Subuh di Masjid mengikuti orang tua.
Saat itu selama Ramadan sekolah libur satu bulan penuh sehingga anak-anak bisa puasa sebulan penuh karena tidak ada kewajiban sekolah.
Sore hari setelah asar anak-anak kembali ke masjid untuk mengisi kamar mandi masjid yang digunakan untuk wudhu dengan mengambil air dari sumur kampung dengan menggunakan ember atau jerigen.
Setelah sudah penuh kami bermain di lapangan dengan bermain bola atau layang - layang  sampai waktu menjelang maghrib.
Itulah gambaran kegiatan harian masa anak -anak penulis sekitar 45 tahun silam yang bisa dibagikan kepada para pembaca Kompasiana, semoga bermanfaat.