Mohon tunggu...
Ahmad Naufal Dzulfaroh
Ahmad Naufal Dzulfaroh Mohon Tunggu... Freelancer - Twitter: @nofal_oke

Penikmat Sepak Bola dan Tukang Mantau Timur Tengah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenal Ibn al-Muquffa': Sastrawan dan Penerjemah di Masa Abbasiyah

5 Mei 2019   14:28 Diperbarui: 5 Mei 2019   14:30 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: babelio.com

Pemerhati sastra Arab tentu tidak asing dengan nama Ibn al-Muquffa'. Namanya memang tidak sebesar dan setenar Abu Nawas, tetapi karya terjemahannya menjadi salah satu masterpiece dalam kesusastraan Arab, yaitu Kallah wa Dimnah, terjemahan dari bahasa Persia yang juga merupakan terjemahan dari naskah Sanskrit berjudul Pancatantra. Kitab terjemahannya itu menjadikannya sebagai pelopor penerjemahan dalam sastra Arab.

Ibn al-Muquffa' memiliki nama lengkap Abdullah Rzbih bin Ddya. Ia lahir dan tumbuh besar di keluarga terpandang pada tahun 724 M (106 H) di Basrah. Terkait tempat kelahirannya, terdapat perbedaan pendapat di antara para sejarawan. Beberapa mengatakan di daerah Gr atau disebut juga dengan Firuzabad, Iran dan sebagian yang lain mengatakan di Basrah, Irak.

Ayahnya, Ddya, merupakan pejabat pemerintah yang mengurusi pajak pada pemerintahan Umayyah. Akan tetapi, ia dituduh menggelapkan sejumlah uang yang dipercayakan kepadanya dan kemudian dihukum potong tangan. Dari sinilah muncul nama Muquffa' yang berarti orang dengan tangan terputus (buntung). Dalam tradisi Arab, nama Abdullah biasanya disingkat menjadi 'ibn' (anak laki-laki) jika disambungkan dengan nama ayah, sehingga nama Ibn al-Muquffa' merupakan kepanjangan dari Abdulllah bin Ddya al-Muquffa'.

Ibn al-Muquffa' menjadi saksi atas kehancuran Dinasti Umayyah dan kemenangan Dinasti Abbasiyyah. Setelah peristiwa itu, ia kembali ke Basrah dan bekerja sebagai sekretaris di bawah pengawasan Isa bin Ali dan Sulaiman bin Ali, paman dari khalifah al-Mansur. Kegemarannya membaca kitab-kitab Yunani kuno yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Parsi menjadikannya sebagai seorang yang jenius dan berwawasan luas, seperti yang tercermin dalam karya-karyanya.

Ibn al-Muqaffa' memiliki gaya tulisan yang khas dengan menggunakan bahasa yang lugas, memiliki keluasan makna, dan bersifat persuasif. Dengen kekhasannya itu, mudah bagi pembaca untuk mengenali tulisannya. Para pengamat juga melihat adanya kekuatan logika dan keselarasan ide dalam setiap karyanya, sehingga menempatkannya sebagai salah satu penulis yang unggul di masanya. Banyak penulis lain yang meniru gaya kepenulisan Ibn al-Muquffa' dalam karya-karya mereka.

Karena berasal dari lingkungan keluarga dan etnis Persia, semua karya Ibn al-Muqafa merupakan terjemahan dari bahasa Persia. Ia juga jarang membuat puisi atau kalm hikmah yang dilatarbelakangi oleh kehidupan orang Arab. Karena itu, Ibn al-Muquffa' dikenal sebagai orang pertama yang memperkenalkan pribahasa Persia, pemikiran Yunani, dan pemikiran sosial politik dalam bahasa Arab.

Dalam beberapa karya terjemahannya, terlihat bagaimana Ibn al-Muqaffa' melakukan penerjemahan secara bebas dan tidak terikat oleh karya yang diterjamahkannnya. Artinya, ia seringkali menambah atau mengurangi isi sesuai dengan konteks saat itu. Hal ini membuat beberapa kritikus sastra meragukan beberapa karya terjemahannya.

Atas dasar itu juga, mereka meyakini bahwa Ibn al-Muquffa' merupakan penulis Kallah wa Dimnah, tetapi mengklaim sebagai karya terjemahan demi popularitas karyanya. Terlepas dari benar tidaknya pendapat itu, sebagian besar kritikus dan sejarawan sepakat bahwa Ibn al-Muquffa'merupakan seorang penulis hebat dan memiliki kualitas penerjamahan yang tinggi. Tidak heran jika cerita Kallah wa Dimnah mendapat tempat istimewa dalam khazanah kesusastraan Arab, meski merupakan karya terjemahan.

Ibn al-Muquffa' meninggal di Basrah setelah Sufyan bin Muawiyah (gubernur Basrah) diperintahkan khalifah al-Mansur untuk membunuhnya. Sebelumnya, Ibn al-Muquffa' diperintahkan oleh Isan dan Sulaiman mengirim surat kepada sang Khalifah untuk memohon agar tidak dibunuh setelah Abdullah (saudara al-Mansur yang memberontak) berlindung kepada mereka akibat diburu oleh pasukan khalifah. Setelah membaca surat itu, khalifah al-Mansur merasa marah dan menganggap Ibn al-Muquffa' mendukung pemberontak.

Riwayat lain mengatakan bahwa Ibn al-Muquffa' dijatuhi hukuman mati setelah dituduh sebagai seorang zindiq (ateis), meski dia sebelumnya telah memeluk Islam. Namun, Sufyan bin Muawiyah menganggap bahwa keputusan Ibn al-Muquffa' masuk Islam (sebelumnya seorang Majusi) hanya kedok belaka dengan alasan tidak pernah melihat Ibn al-Muquffa' menunjukkan keislamannya. Padahal jika menilik karya-karyanya, banyak sejarawan yang menganggap bahwa tulisan Ibn al-Muquffa' sarat akan nilai keislaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun