"Tuhan seperti prasangka mahluknya, jika kita berprasangka baik maka hal baik akan terjadi, begitupun sebaliknya." Â Pesan kitab suci yang boleh jadi acap kita abaikan.
STY membawa model sepakbola efektif, cukup satu-dua sentuhan, tanpa banyak drible dan menahan bola lalu segera mengalir kesisi lapangan lain, seolah mengingatkan kita agar tak larut dalam masalah, tapi segera mengalir fokus pada jalan keluar. STY juga sadar bahwa fisik dan teknik pemain kita belum mumpuni untuk menjalankan taktik itu, itulah kenapa diperlukan waktu tidak sebentar untuk merubah tim, bahkan STY berani memotong generasi jika pemain lama sulit diubah. Proses itu memerlukan waktu.
Euforia netizen kembali menggeliat saat akhir-akhir proses itu mulai membentuk tim idaman, hingga banyak yang lupa diri bahwa kita baru memasuki tahap awal dari perubahan, masih perlu waktu dan konsistensi untuk berada dalam kelas dunia, dalam kawanan raja rimba.
Stoik dalam taktik STY seolah mengajarkan kita untuk tetap membumi setelah perubahan nampak nyata, tak perlu euforia berlebihan, cukup kita nikmati sendiri. Seperti para punggawa kita yang nampak asik memainkan permainan, menang atau kalah sudah ada yang atur diujung takdir, yang menurut stoik adalah hal-hal diluar kendali kita. Tapi menjalankan strategi kehidupan dengan baik adalah hal yang berada dalam kendali kita.
Karena menurut stoikism, mencoba meraih kebahagiaan dengan hal-hal diluar kendali kita adalah sebuah kesia-siaan.
Nikmati hidup dengan segala tantangannya, biarkan  masa lalu yang kelam terlewati, semua dari kita berhak atas harapan lebih baik.
Let it go, let it flow.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H