Ulama kita telah membuat standar tinggi tentang adab-adab mengkritik. Bukan melalui olok-olok atau nyinyir yang menunjukkan kebodohan.
Cerita tentang Andika dan Duta boleh jadi adalah pembelajaran bagi kita tentang perspektif kesederhanaan. Setiap selera akan selalu memiliki massa, ada pasar dan penggemarnya sendiri. Kangen Band dan Sheila on7 berhasil membuat sebuah pasar, lalu ditambah dengan pasar empati yang mengiringi karya-karya hebatnya.
Cerita tentang kesederhanaan boleh jadi juga sebuah filosofi bagi merk otomotif dunia bernama Toyota, membangun citra sederhana bagi pasar Indonesia yang kerap gagap teknologi boleh jadi adalah langkah yang tepat. Berbeda dengan Nissan dan Mazda yang membawa teknologi berkemajuan atau KIA dan Hyundai yang kaya terobosan, Toyota tetap di percaya pecinta otomotif Indonesia dengan simbol kesederhanaan, mesinnya bandel, bisa diperbaiki dan dirawat oleh bengkel manapun di tanah air. Itulah kenapa kesederhanaan (walau aslinya gak sederhana amat dalam merk mobil Toyota terkini) membuat harga jual kembali Toyota tak terlalu terdampak depresiasi.
Andika, Duta dan Toyota seolah mewakili sebuah frasa yang pernah diungkap oleh Mantan Wapres Jusuf Kalla pada suatu ketika:
"Hidup itu harus hebat, harus istimewa (dalam karya), kita harus mewariskan peninggalan hebat bagi anak cucu kita, yang sederhana itu adalah sikap."
Hari ini semesta seolah mengingatkan kita lewat sosok Andika dan Duta, bahwa setinggi apapun pencapaian hidup, sikap sederhana adalah puncak pencapaian sesungguhnya.
Hebat dalam karya, sederhana dalam sikap.
Jika kritik memiliki standar kelimuan yang layak dikaji, maka pembully biasanya hanya bersandar pada statement miskin narasi, seperti yang sudah-sudah akan tenggelam ditelan bumi (keabadian).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H