Mohon tunggu...
Ahmad zaenal abidin
Ahmad zaenal abidin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penjahit kata

Seorang penyulam yang percaya bahwa jahitan kata bisa merubah dunia

Selanjutnya

Tutup

Money

Bisnis ala Al-Ghazali, ala Jack Ma

9 Januari 2022   10:03 Diperbarui: 9 Januari 2022   10:06 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

We Have A Deal

I get profit, you get benefit.

"Tolong carikan barang ini, barangkali ada yang jual butuh (BU), agar harga bisa di tekan dibawah pasaran."

Kalimat diatas kerap kali kita dengar, tentang cara jual beli yang memanfaatkan kelemahan penjual, menggunakan aneka alasan agar harga bisa di tekan sesuai keinginan pembeli, boleh jadi transaksi tetap terjadi dengan rasa dongkol dari salah satu pihak, tapi karena kebutuhan mendesak, terpaksa disepakati.

Boleh jadi pula pembeli dalam transaksi seperti ini mendapatkan profit, tapi sejatinya tidak akan pernah merasakan benefit.

Mari kita simak sebuah cerita, tentang transaksi bisnis para raksasa dunia yang boleh jadi menerapkan kaidah tasawuf  ekonomi yang salah satunya pernah di gagas oleh Al-Ghazali dalam Ihya' Ulum al-Din.

Pria itu bernama Masayoshi Son, CEO dari SoftBank, lembaga Investasi kelas dunia, pada tahun 2000 dalam acara safari ke Tiongkok untuk mencari peluang investasi yang bagus di dunia digital.

Dalam salah satu sesi, dia di pertemukan dengan seorang pria kurus, pendek, dengan kepala yang agak kebesaran. Tampak aneh, namun penuh semangat. Pria itu adalah Jack Ma. Dia berusaha mencari pendanaan untuk "Alibaba" perusahaan e-commerce yang baru di rilisnya, dia ingin menghubungkan pabrik-pabrik di pedalaman Tiongkok daratan pada dunia, tentu saja agar tercipta sebuah kesempatan dalam wujud keadilan soal harga, dimana para spekulan dan broker yang menguasai jaringan distribusi tak lagi seenaknya menekan para pengusaha kecil disana.

Son nampak tertarik pada gagasan Jack Ma, dia yang teruji dalam dunia investasi, melihat sebuah visi dalam bisnis ini, sebuah platform yang tak hanya menjanjikan profit, tapi benefit (manfaat) yang besar bagi para pelakunya kelak.

Sebagai seorang investor, Son sadar bahwa saat itu tak banyak yang melirik gagasan dan ide Jack Ma yang membutuhkan pendanaan, dia berada dalam kuasa untuk menekan harga, agar Jack Ma mau menjual, atau setidaknya bekerja sama dengan harga murah. Jack Ma yang lemah dan Son pemilik modal raksasa yang memilik kuasa.

Tapi, alih-alih mengambil kesempatan untuk menekan harga, Son mengambil langkah berbeda, dia memberikan sebuah tawaran fantastis senilai USD 40jt untuk 40% saham Alibaba. Perusahaan yang baru berusia 1tahun, tanpa aset dan masih merugi.

Ajaibnya tawaran itu di tolak oleh Jack Ma beberapa hari kemudian, Jack mengatakan dia tak bisa melepaskan sahamnya terlalu besar, sebagai gantinya, SoftBank boleh berinvestasi sebesar USD 20jt untuk 30% saham. Son membalas seketika dengan kata-kata singkat.

"Keep going."

"Lanjutkan, then we have a deal". Begitu kira-kira yang ada dalam benak Son saat itu.

Hari ini kita bisa saksikan nilai dari Alibaba telah mencapai puluhan miliar dolar, baik Jack ataupun Son telah berhasil meraup keuntungan luar biasa yang bermula dari kesepakatan tak biasa.
Yang lebih dahsyat adalah manfaat dari e-commerce Alibaba ini yang telah menjadi penghubung para pengusaha kecil menengah untuk memasarkan produknya ke seluruh pelosok dunia.

Dua tokoh diatas boleh jadi telah menjalankan kaidah-kaidah ekonomi yang telah di gagas salah satunya oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya' Ulum al-Din.

Menurut Al-Ghazali, setiap pedagang harus memakai cara-cara terhormat, sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan pada hari kiamat nanti seperti pelaku dosa besar, kecuali yang bertaqwa kepada Allah, berbuat kebajikan dan jujur.

Menekan harga dan memanfaatkan kelemahan partner bisnis, calon pembeli atau pada pihak penjual tentu saja bukan cara terhormat, bisnis itu sekali lagi walau bisa menghasilkan profit, tak akan pernah memberi benefit, bahkan, bisnis tanpa kaidah ini tak akan berlangsung lama, karena telah membuat kesepakatan tak adil sejak bermula.

Dalam Fiqh madzhab Syafi'i telah memberi kita sebuah kaidah sah dan tidaknya jual-beli, adalah adanya Ridha diantara keduanya, jika salah satunya tidak Ridha, karena alasan keterpaksaan misalnya, maka tidak sah jual beli itu.

Hari ini, boleh jadi Tokopedia, Bukalapak hingga Gojek telah menjelma jadi raksasa baru dalam bisnis kaya benefit ini, memberi setiap orang kesempatan yang sama, harga yang adil dan yang paling penting menjadikan usaha kita sebagai ladang amal, bentuk penghambaan kita kepada yang maha kuasa.

Teringat pesan gurunda tercinta, Almaghfurlah KH. Jaja Abdul Jabbar, dewan kiai Pondok Pesantren Miftahul Huda Tasik Malaya,

"Berbisnis itu jangan semata-mata mencari untung, karena akan merugi (di kemudian hari), berbisnislah karena Allah, sandarkan selalu dalam setiap transaksi sebagai bentuk ibadah, jika bisa membahagiakan orang dalam transaksi lewat mengurangi profit, memudahkan proses, maka tempuhlah jalan itu berharap Ridha Allah."

I get profit, you get benefit.

Bogor, 9 Januari 2022.

Santri, pelaku usaha, penjahit kata, penikmat kopi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun