Kambing, Kecoak dan penalti semalam
Menjadi kecil sejatinya bukan berarti memiliki jiwa kerdil, saat berhadapan dengan raksasa dalam dunia, baiknya si kecil itu tetap harus menegakkan kepala, lalu bertarung layaknya ksatria hingga tetes keringat terakhir.
Walaupun jadi kambing, tetaplah mengaum, bukan mengembik.
Biarlah kecil ada pada raga, bukan pada nyali.
Pekan ke-16 liga primer Inggris semalam menyajikan pertandingan seru nan asyik untuk di tonton, terutama peringkat 3 besar klasemen yang dapat kemenangan lewat tendangan penalti.
Tiga penalti yang jadi kontroversi pada pertandingan semalam yang diragukan "kehalalannya" oleh para pencinta bola. Penalti yang memupus asa tim papan tengah saat bertarung habis-habisan melawan para raksasa liga Inggris.
Kredit point sepertinya layak di sematkan ada dua penjaga gawang, Emilio Martinez dan Jose Sa yang tampil brilian menahan gempuran tim lawan. Emilio yang dikenal tidak betul akhlaknya saat bertanding, akhirnya takluk juga oleh ahlak betul Mohamed Salah yang tidak mudah di provokasi.
Tim-tim papan tengah model Aston Villa, Wolverhampton, dan Leeds United pada pertandingan semalam seolah memberi kita sebuah pelajaran berharga. Tentang kambing yang mengaum di hadapan para singa, membuat para raksasa harus habis-habisan untuk mengalahkannya. Walau pada pertandingan itu takdir lebih berpihak pada para raksasa lewat hadiah penalti yang menyesakkan.
Boleh jadi banyak dari kita adalah tim semenjana, punya bisnis, karya atau lembaga yang dianggap kelas kambing yang jauh dari kata mendunia.
Tentu saja tak apa dengan semua stigma dan anggapan itu, karena semua dari kita memerlukan permulaan, lalu dilatih dengan aneka challenge semesta berupa aneka kesukaran yang kerap membuat jelaga jiwa berdarah-darah.
Tetap saja mengaum layaknya singa, buat para kompetitor raksasa yang besar dengan Disrupsi nya bergetar saat melihat kesungguhan dan capaian kita.
Bisnis, karya atau lembaga yang tak juga menjadi hebat dan besar baiknya juga belajar dari filosofi kecoak, iya kecoak.
Istilah ini mulai populer menjelang akhir perang dunia kedua yang ditandai dijatuhkannya bom atom  oleh Amerika ke kota Hiroshima dan Nagasaki.
Dua kota itu luluh lantak beserta para penghuninya, nyaris tak ada yang selamat, kecuali para kecoak yang tetap berlari-lari lincah di bawah reruntuhan kota. Ajaib, mereka selamat dan tetap survive.
Boleh jadi filosodi kecoak diatas layak disematkan kepada bisnis, karya atau lembaga yang berani melawan jaman.
Ada warung sate, kedai kopi atau restoran Padang yang enggan bermetamorfosis menjadi start-up, enggan membuka franchise-nya dimana-mana tapi tetap hidup dan berada dihati para pelanggannya setianya secara turun temurun. Mereka tetap survive ditengah bisnis raksasa model KFC atau Starbucks.
Semesta mungkin seolah tak adil kepada kelas kambing dan kecoak yang mengaum, bahkan kerap merasa dikalahkan dengan cara-cara tidak sportif dalam kompetisi, seperti penalti yang diragukan kehalalannya pada tiga tim papan tengah semalam.
Boleh jadi sejatinya kita di ingatkan bahwa kalah-menang dalam kompetisi bukan jadi ukuran utama seorang juara, bukan tentang margin atau jumlah cabang ada dimana-mana, tapi mendapat cinta dari pelanggan dan penikmat karya kita jauh lebih utama, tak lagi tentang profit, tapi benefit.
Seperti juga para fans tiga tim diatas yang tetap memberi standing ovation walau timnya kalah, usaha teguh kita juga akan mendapat tepuk tangan semesta bernama bahagia.
No Worry. Tetap mengaum walau jadi kelas kambing dan kecoak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H