Istilah ini mulai populer menjelang akhir perang dunia kedua yang ditandai dijatuhkannya bom atom  oleh Amerika ke kota Hiroshima dan Nagasaki.
Dua kota itu luluh lantak beserta para penghuninya, nyaris tak ada yang selamat, kecuali para kecoak yang tetap berlari-lari lincah di bawah reruntuhan kota. Ajaib, mereka selamat dan tetap survive.
Boleh jadi filosodi kecoak diatas layak disematkan kepada bisnis, karya atau lembaga yang berani melawan jaman.
Ada warung sate, kedai kopi atau restoran Padang yang enggan bermetamorfosis menjadi start-up, enggan membuka franchise-nya dimana-mana tapi tetap hidup dan berada dihati para pelanggannya setianya secara turun temurun. Mereka tetap survive ditengah bisnis raksasa model KFC atau Starbucks.
Semesta mungkin seolah tak adil kepada kelas kambing dan kecoak yang mengaum, bahkan kerap merasa dikalahkan dengan cara-cara tidak sportif dalam kompetisi, seperti penalti yang diragukan kehalalannya pada tiga tim papan tengah semalam.
Boleh jadi sejatinya kita di ingatkan bahwa kalah-menang dalam kompetisi bukan jadi ukuran utama seorang juara, bukan tentang margin atau jumlah cabang ada dimana-mana, tapi mendapat cinta dari pelanggan dan penikmat karya kita jauh lebih utama, tak lagi tentang profit, tapi benefit.
Seperti juga para fans tiga tim diatas yang tetap memberi standing ovation walau timnya kalah, usaha teguh kita juga akan mendapat tepuk tangan semesta bernama bahagia.
No Worry. Tetap mengaum walau jadi kelas kambing dan kecoak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H