Mohon tunggu...
Ahmad zaenal abidin
Ahmad zaenal abidin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penjahit kata

Seorang penyulam yang percaya bahwa jahitan kata bisa merubah dunia

Selanjutnya

Tutup

Bola

Jalan Arsenal, In Arsene We Trust

27 September 2021   06:17 Diperbarui: 27 September 2021   06:19 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jalan Arsenal, In Arsene we trust.

Catatan pinggir tentang filosofi sepakbola dan kehidupan.

Mengelola sebuah klub sepakbola boleh jadi seperti mengelola kehidupan, ada banyak cara, aneka jalan, tapi memiliki satu tujuan. Jika pemeluk agama menjadikan Tuhan sebagai tujuan, maka sepakbola boleh jadi menjadikan prestasi berbalut gelar yang jadi acuan.

Kisah ini bermula pada tahun 1996, saat sosok Arsene wenger diperkenalkan manajemen arsenal sebagai manager baru menggantikan legenda George Graham yang telah 11 tahun melatih tim kota london utara itu.

Publik sempat terkaget saat mengetahui bahwa background Wenger adalah seorang profesor ekonomi.

Mungkin sebagian bertanya, bagaimana mungkin seorang ahli ekonomi mengelola sebuah klub sepakbola?

Jika tujuan utama klub adalah memperbaiki neraca keuangan yang drop karena miskin gelar beberapa tahun terakhir, boleh jadi alasan ini dibenarkan, tapi jika tujuannya adalah prestasi, maka pilihan ini patut dipertanyakan, sepakbola tidak sesederhana itu kawan, mungkin pertanyaan itu yang ada dalam benak penggemar saat itu.

Arsene wenger mungkin dihadapkan pada dua pilihan untuk mendongkrak prestasi Arsenal sekaligus menambah pemasukan klub, a right way or an easy way.

Persis seperti hidup kita mungkin, kita dihadapkan pada pilihan jalan yang benar atau jalan yang mudah.
Wenger memilih jalan pertama, a right way.

Membawa filosofi ekonomi yang jadi keahliannya, Wenger mulai membangun ulang tim. Dia membawa intuisinya dalam merekrut pemain, penuh kehati-hatian dalam menentukan pilihan karena keterbatasan kocek belanja, dan yang utama, di sesuaikan dengan kebutuhan tim.

Deretan belanja pemain Wenger di isi pemain underrated, pemain bola yang kurang dianggap,dihargai murah, nyaris putus asa, tapi memiliki kualitas mumpuni. 

Sebut saja Denis Bergkamp dan Thiery henry dalam daftar teratas, siapa sangka setelah beralih kostum dari Inter milan dan Juventus, mereka berdua berubah menjadi sosok protagonis yang gacor di depan gawang lawan.

Kejelian Wenger dalam belanja adalah kunci utama, dia tak melulu menjanjikan biaya transfer dan gaji yang wah, tapi menyentuh lembut pemain-pemain barunya dengan cinta, lalu diberi kesempatan untuk memulai kehidupan baru setelah melewati musim yang mengenaskan di klub lama. Lagi-lagi, sentuhan cinta yang jadi rujukan. Wenger seolah tahu, everybody need love.

Tambahkan juga deretan legenda dengan biaya terjangkau pada masa nya macam Patrick Vieira, Cesc    Fabregas, Robert pires hingga Theo Walcot dan Jack Wilshere, boleh jadi tak ada yang mengenal nama mereka sebelumnya.

Nama-nama yang dibeli dengan harga murah, tapi setelah dipoles ulang dan teruji, dijual puluhan juta poundsterling beberapa tahun kemudian.

Mengelola klub sepakbola boleh jadi juga seperti kita mengelola kehidupan,  diperlukan kesabaran, motivasi, dan juga cinta, kata terakhir ini penting untuk membangkitkan rasa kebersamaan dalam tim. Jika semerbak aroma cinta telah didapat, maka partitur nada kehidupan mulai terbentuk, Arsenal mulai bermain layaknya sebuah orkestra nada, partitur taktik mulai mengalir dari kaki ke kaki, sepakbola indah mulai tersaji, layaknya sebuah symphony.

Arsenal baru telah lahir, harapan kembali terukir, tapi mereka tidak bisa tetap tinggal di stadion Highbury yang berkapasitas 28ribu saja, Arsenal perlu markas baru. Lagi-lagi Wenger memilih jalan yang tak mudah, but this is a right way.

Menyadari nama klub sudah memiliki nilai jual, alih-alih   memilih pinjaman bank atau menjual klub kepada sugar daddy penggila bola, Wenger malah menyiapkan sebuah proposal yang tak lazim saat itu, menjual nama stadion baru yang megah berkapasitas 80.000. 

Penonton kepada sponsor dengan kesepakatan ratusan juta poundsterling dengan kontrak sepuluh tahun, gayung pun bersambut saat Emirates menyodorkan tangan untuk dijabat. We have a deal, even its a crazy deal.

Emirates stadium pun dibangun dengan dana tunai, tanpa pinjaman, Arsenal senang, Emirates bahagia, karena merk mereka akan selalu disebut dalam blantika sepakbola dunia, sebuah kesepakatan yang adil bagi kedua belah pihak.

Walau jejak prestasi Arsene Wenger tidak sementereng Jose Mourinho atau Pep Guardiola, tapi capaian jejak langkahnya telah ada dalam hati setiap pecinta sepakbola, bahwa mencetak prestasi tidak melulu bermodal uang, bahwa bahagia itu ada pada saat kita menjalani prosesnya.

Boleh jadi, capaian epik Arsenal selama di komandoi Wenger melebihi tropi liga Champions.

Wenger memberi kita sebuah pelajaran hidup, bahwa menjadi underrated life itu bukan sebuah halangan untuk sukses, barang kali kita belum menemukan sentuhan cinta.

Gelar materi yang jadi impian, belum tentu jadi sarana kebahagiaan, menjalani hidup dengan rasa syukur boleh jadi arti kemenangan sesungguhnya.

Membangun pondasi kehidupan seperti membangun Emirates stadium, Choose a right way not an easy way.

Pilih jalan yang benar, bukan jalan yang mudah.

Jujur saja, catatan ini malah menampar saya sendiri. Semoga bermanfaat bagi saya dan pembaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun