Mohon tunggu...
Ahmad Soleh Mustofa
Ahmad Soleh Mustofa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mahasiswa IAIN Jember

Kenali dirimu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saat Lidah Berdalih

27 Maret 2020   00:36 Diperbarui: 27 Maret 2020   00:36 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lidah dan dalih adalah hal yang tak terpisahkan dan saling melengkapi satu sama lain, dalih akan menjadi positif apabila lidah mampu mengungkapkan hal positif dan sebaliknya semua hal negatif yang diungkapkan lidah akan berdampak pada dalih.

Begitu juga dengan seorang pendidik atau guru, ketika ucapan seorang guru sesuai dengan perbuatan yang ia lakukan maka akan berdampak positif terhadap pandangan peserta didik terhadapnya.

Namun sebaliknya apabila ucapan tidak sesuai bahkan bertolak belakang dengan perbuatan yang dikerjakan oleh seorang guru, maka peserta didik akan mengalami dilema atau tekanan batin antara mengikuti nasehat atau menolak nasehat tersebut. 

Karena apa yang mereka dengar tidak sesuai dengan yang mereka lihat. guru disini berperan sebagai figur, panutan, contoh, suri tauladan bagi peserta didik. Jika contoh tidak sesuai dengan yang dicontohkan maka jangan salahkan peserta didik apabila mereka meragukan kredibilitas seorang guru.  

Lalu muncul argumentasi bukankah guru juga manusia biasa yang tak lepas dari kesalahan..?. apakah guru itu harus selalu benar...?

Memang benar guru itu juga manusia biasa yang juga memiliki kesalahan, guru memang tidak harus selalu benar, guru juga dapat berbuat kesalahan baik disengaja ataupun tidak disengaja. 

Tetapi perlu ditekankan kembali bahwa guru disini sebagai figur, panutan dan suri tauladan bagi para siswanya sehingga apapun perbuatan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari baik perbuatan baik maupun buruk akan berpengaruh terhadap pola pikir peserta didik dan cara pandangnya terhadap guru. 

Ini memang peran dari seorang guru untuk mencontohkan kebaikan terhadap peserta didik, maka dari itu menjadi seorang guru bukan merupakan hal yang mudah, ia harus mampu memperbaiki diri sendiri sebelum mampu mengarahkan peserta didik mengarah pada kebaikan.

Lalu muncul argumentasi apakah seorang guru harus berbuat lebih dahulu sebelum berbicara?

Memang apabila setiap ucapan harus dibarengi dengan perbuatan terkadang pendidik mengalami kesulitan untuk melakukan ucapannya sendiri, karena berbuat itu tidak semudah berbicara. 

Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa ucapan yang dibarengi dengan perbuatan akan memberikan power terhadap peserta didik, tanpa diperintah peserta didik akan otomatis mencontoh apa yang dilakukan guru. 

Dan tidak menutup kemungkinan apa yang hanya diucapkan oleh gur tanpa dilakukan akan dicontoh oleh peserta didik, ini hanya masalah proses dan waktu bagi peserta didik untuk menyesuaikan dengan kenyataan yang ada.

Jadi, selama ucapan yang disampaikan oleh pendidik terhadap peserta didik positif maka sampaikanlah, karena guru merupakan penyambung lidah bagi peserta didik, hal yang tidak dapat dipahami dan dicerna oleh peserta didik dari buku pelajaran, maka gurulah tempat mendapatkan pemahaman bagi peserta didik, melalui pemahaman dari seorang gurulah materi yang awalnya sulit menjadi lebih mudah. 

Jadi, meskipun pendidik tersebut belum mampu untuk melaksanakan ucapannya sendiri Tapi paling tidak guru telah memberikan energi dan pandangan positif  kepada peserta didik, sehingga kembali kepada peserta didik mau melakukan apa yang disampaikan oleh guru atau tidak.

Memang tidak mudah apabila setiap ucapan harus dilakukan, harus ada niat yang tulus dari hati untuk mewujudkan ucapan sendiri. Dan ketika ucapan disampaikan melalui hati maka akan sampai pada hati. 

Dan sebagai guru jangan pernah berpikiran bahwa nasehat yang diberikan harus selalu diikuti, harus ditaati, harus dipenuhi oleh peserta didik, jangan pernah merasa ingin dihormati, di sanjung, dan diagungkan peserta didik. karena rasa hormat, rasa agung dan merasa diri besar akan menghilangkan inti dari rasa ikhlas dalam mendidik. 

Dihormati, diagungkan dan sebagainya merupakan wilayah peserta didik, mereka akan memberikan penilaian terhadap personal dari seorang guru. Guru hanya perlu mengajar dengan ikhlas dan sesuai dengan etika profesi keguruan sembari berusaha memperbaiki tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.

#Semoga Bermanfaat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun