Mohon tunggu...
Ahmad Aunullah
Ahmad Aunullah Mohon Tunggu... Konsultan - Pelaku Wisata

Pelaku wisata yang tidak suka berada indoor terlalu lama. Berkantor di Lombok, bertempat tinggal kebanyakaan di laut.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Pariwisata itu Tidak Baku

3 Februari 2021   07:12 Diperbarui: 3 Februari 2021   07:33 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan saya ini dilatarbelakangi oleh ucapan dari seorang pembicara ketika saya mengikuti workshop kepariwisataan di Lombok beberapa tahun silam yang menyatakan bahwa beliau sudah bergelut di bidang pariwisata sejak 20 tahun silam sehingga bisa bertanya apa saja mengenai pariwisata kepada beliau.

Menurut saya memang tidak ada salahnya beliau mengatakan seperti itu dan menjadikan dirinya seorang pakar pariwisata, namun sempat terbesik dalam pikiran saya bahwa jika 20 tahun sudah bergeliat dalam mengembangkan pariwisata di Indonesia, mengapa pariwisata kita masih kalah dengan negara tetangga yang memiliki destinasi wisata lebih sedikit dari Indonesia?

Akhirnya pertanyaan saya tersebut hanya saya simpan sendiri dan berusaha menjawabnya sendiri untuk menjaga profesional courtesy diantara sesama insan pariwisata.

Pada akhirnya jawaban saya terletak pada perkembangan dari pariwisata itu sendiri yang tidak baku melainkan sangat dan sangat dinamis baik dari sisi pelancong dan juga dari sisi pelaku wisata sehingga untuk belajar mengenai pariwisata juga tidak hanya berhenti pada sebuah gelar sarjana sekalipun karena kita dituntut untuk selalu belajar dan belajar.

Jika dahulu para pelaku wisata terutama para tour operator berfokus kepada pendampingan tamunya ke spot wisata dan memperkenalkan destinasi wisatanya, maka kini mereka harus menyediakan waktu dan ruang kepada tamunya untuk ber selfie karena adanya tuntutan dari beberapa tamu untuk meng update status nya.

Jika dahulu wisata bersifat umum kini ada wisata yang berbasis kesukaan atau interest seperti wisata kuliner, wisata wine tasting, wisata religi dan sebagainya.

Jika dahulu pelancong cenderung untuk menggantungkan kegiatan wisatanya kepada tour operator, kini informasi mengenai akses dan apa yang tersedia di sebuah destinasi wisata bisa di akses melalui internet, dan sebagai imbasnya banyak pelancong yang ber solo traveling serta bila dalam grup kecil, mereka jarang yang menggunakan jasa tour operator karena sudah mengetahui segala informasi yang diperlukan.

Saya mungkin salah satu korban dari hal ini karena saya terlalu fokus kepada satu destinasi, tidak dinamias mengikuti perkembangan.

Jika dahulu sulit sekali menyampaikan keluhan atas pelayanan maka kini bisa dilakukan on the spot tanpa menunggu satu menit pun, tinggal menggunakan jari maka seluruh dunia bisa membaca nya.

Memang pariwisata tidak baku melainkan dinamis yang diakibatkan bukan hanya perkembangan teknologi namun juga preferensi para pelancong yang juga berubah, tak terkecuali dalam hal pengeluaran selama berwisata yang pada akhirnya akan berimbas pula kepada para pelaku wisata.

Sehingga dari semua perubahan yang terjadi maka sebagai pelaku wisata, kita tidak bisa berdiam diri, kita harus berubah pula, mencari terobosan-terobosan yang dapat menarik minat para pelancong, apapun bentuk dan wujudnya entah itu berupa layanan tambahan atau hanya sekedar bingkisan hasil kerajinan lokal sebagai apreasi kepada tamu.

Akan tetapi dinamis dalam pariwisata tidak hanya dalam hal pelayanan saja melainkan juga dari destinasi wisata itu sendiri, layaknya sebuah daerah yang menuntut sebuah pembangunan.

Jika sebuah pulau yang indah namun dari tahun ke tahun tidak ada perubahan, maka tidaklah mustahil para pelancong hanya sekali mengunjungi pulau tersebut karena menganggap bahwa mereka sudah mengeskplor semua yang ada di pulau tersebut, there is nothing new !

Tidak adanya penerapan island branding sebagai pembeda dari pulau-pulau yang kita miliki, bisa jadi menjadi salah satu penyebabnya sehingga banyak dari wisatawan yang memiliki anggapan bahwa semua pulau di Indonesia sama hanya berupa pasir, pantai dan matahari.

Itu hanya satu contoh perkembangan yang sebaiknya dilakukan oleh sebuah destinasi selain dari menonjolkan kelokalan masing-masing daerah yang kita lihat masing jarang terlihat di beberapa destinasi wisata dimana cenderung memfokuskan pada spot wisata yang sedang viral.

Dari sisi layanan, adakalanya ketika pergi ke gili bila kepala penat di akhir pekan, saya melihat ada turis wanita yang menangis karena dia telah membayar tiket fast ferry pada resepsionis hotel tempat dia menginap namun ketika waktu keberangkatan, voucher dia yang diberikan oleh hitel tidak berlaku karena pihak hotel lupa melakukan booking pada pihak fast ferry.

Kemana wisatawan itu harus mengadu dikala menulis keluhan di platform daring tidaklah mengakhiri dari sebuah pelayaan yang kurang baik dari para pelaku wisata yang jarang sekali di monitor dan di evaluasi.

Atau sikap teritorial pada wisata  yang masih dilakukan oleh beberapa orang lokal yang hanya membolehkan wisatawan menggunakan jasa transportasi dari masyarakat sekitar saat kita turun dari kapal atau pesawat.

Atau kurangnya pilihan maskapai di Indonesia dan kurangnya penerbangan langsung ke destinasi wisata di Indonesia dari negara-negara yang meng ekspor wisatawannya ke Indonesia, padahal ada berita yang mengatakan kita kelebihan bandara Internasional.

Belum lagi kebiasaan yang masih belum berubah dari beberapa orang ketika kita melihat kurangnya kedisiplinan awak dari kapal-kapal yang menuju ke pulau-pulau, disamping aspek keselamatan dengan memahami etika berlalu lintas di laut yang harus berkomunikasi dengan kapal lain bila akan bertemu pada satu titik dari arah yang berbeda, namun itu semua itu tidak digubris.

Kedisipilinan juga terkadang berasal dari pelancongnya sendiri karena kurangnya kepekaan terhadap keselamatannya sendiri ketika naik kapal ang tidak ada perlengkapan keselamatannya seperti life jacket dan sebagainya.

Hal-hal tersebut tidaklah masuk dalam pembahasan dari workshop yang saya ikuti ketika itu, hal yang saya dapatkan hanya bersifat akademis seperti bagaimana caranya melayani tamu dengan baik, dan lainnya.

Apakah akan ada usaha dari kita semua bersama-sama memecahkan kerikil-kerikil pada dunia pariwisata ?

Memang berguna karena saya mendapat ilmu dari workshop tersebut namun bagaimana dengan hal-hal yang saya sampaikan diatas, apakah akan ada yang mendengarnya, apakah tangisan dari wisatawan wanita di Gili tadi akan terdengar oleh sang pembicara pada workshop tadi ?

Ya oleh karena itu pariwisata tidak lah seharusnya baku namun dinamis, tidak hanya dari dari sisi tamu, sisi pelaku wisata dan destinasi wisata saja, melainkan dari sisi pengambil kebijakan juga.

Dinamis dalam saling berbagi ilmu dan pengalaman dan bersedia mendengar, karena pariwisata tidak bersifat baku tapi dinamis.

Ketika sebuah media online yang kompeten dalam dunia pariwisata yang mengingatkan kita akan overtourism di Indonesia, mari mencoba untuk melihat dinamika dan fakta yang memang terjadi, bukan membantahnya.

Apa yang terjadi di bawah mungkin bisa tak terlihat dari yang diatas, walau seharusnya dengan berada di atas bisa melihat apa yang ada dibawah.

Mudah-mudah an pariwisata kita makin dinamis dalam segala hal dan dari semua pihak yang ada didalamnya.

Salam pariwisata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun