Mohon tunggu...
Ahmad Aunullah
Ahmad Aunullah Mohon Tunggu... Konsultan - Pelaku Wisata

Pelaku wisata yang tidak suka berada indoor terlalu lama. Berkantor di Lombok, bertempat tinggal kebanyakaan di laut.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Mengenai Pulau di Indonesia yang Dijual

30 Januari 2021   19:04 Diperbarui: 30 Januari 2021   19:25 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pulau (Pixabay.com)

Hari ini Kompas.com memberitakan tentang Pulau Lantigiang Selayar Sulsel Diduga Dijual Rp 900 Juta dimana saya tidak terlalu kaget namun sedikit kesal dengan adanya kejadian seperti ini bukan pertama kalinya terjadi.

Namun sebelumnya saya ingin mengatakan bahwa mungkin apa yang di jual tersebut adalah sebidang tanah yang berada di pulau tersebut bukan secara keseluruhan pantai karena pada dasarnya pantai yang berupa pasir itu tidak dapat di miliki atau di perjualbelikan.

Sedikit tentang Taka bonerate,  ketika masih bekerja di sebuah kapal Pinisi dan mengunjungi kawasan Takabonerate beberapa tahun yang lalu, saya baru pertama kali lebih banyak menikmati keindahan alam daripada berbicara dengan masyarakat lokal, karena memang keindahan alamnya sangat luar biasa terutama atol-atol dan gundukan pasir putih atau sandbak yang tersebar di kawasan atol tersebut.

Air laut yang berwarna turquoise bukan hanya menyilaukan mata namun juga membuat kita ingin menyebur ke air, walau saya sendiri tidak bisa berenang namun karena melihat jernihnya air maka rasa takut tidak bisa mengapung terlupakan.

Takabonerate sendiri merupakan atol terbesar di Indonesia dan ketiga di dunia yang sebenarnya jika dikembangkan menjadi kawasan seperti Maldives yang juga merupakan kawasan atol, tidaklah mustahil bila dapat menyaingi Maldives.

Pihak UNESCO sendiri telah menjadi Taka bonerate menjadi World Heritage Centre.

Pada tulisan ini saya hanya ingin menyoroti kejadian-kejadian seperti ini dimana pada dasarnya yang menjadi penyebabnya adalah kurangnya kesadaran masyarakat lokal terhadap pekarangannya sendiri terutama pada pemberdayaan keindahan alam sekitar untuk di kembangkan menjadi destinasi wisata.

Pada setiap kesempatan saya mengunjungi pulau-pulau kecil di kawasan Kepulauan Sunda Kecil, saya lebih banyak berbicara kepada masyarakat lokal dibanding menikmati keindahan alam sekitar karena saya ingin mengetahui banyak mengenai setiap pulau yang saya kunjungi.

Saya selalu ingin mengetahui berapa harga tanah di pulau tersebut dan siapa saja yang menjadi pemiiknya, bukan untuk menyuapi rasa keingintahuan saya namun hanya untuk sebagai data di database di kepala saya.

Pada setiap kesempatan itu pula saya selalu berpesan kepada masyarakat lokal bila memiliki sebidang tanah untuk tidak dijual seluruhnya, paling tidak mensisakan paling tidak 10-20% dari luas tanah, sehingga apabila pembeli membangun resort atau hotel, mereka bisa membuka warung, toko atau restoran didekat lokasi.

Hal ini agar mereka sebagai lokal tidak menjadi penonton saja akan tetapi ikut serta dalam mengembangkan wisata dan mendapatkan nilai ekonomi dari pengembangan yang terjadi.

Akan tetapi tidak semua sepertinya dilakukan oleh masyarakat lokal di setiap pulau-pulau terhadap tanah yang dimiliki, sehingga bila kita mengunjungi pulau-pulau yang ada di Indonesia, hampir semua tanah-tanah terutama yang berada di pinggir pantai sudah dimiliki oleh investor dan seluruhnya.

Ironisnya lagi tanah-tanah yang sudah dibeli tersebut tidak dikembangkan dan hanya menjadi sebuah investasi bagi pemiliknya menunggu investor besar untuk membelinya kembali dengan harga yang tinggi.

Memang tidak dapat disalahkan, namun ini sebenarnya yang sangat disayangkan dengan melihat potensi wisata pulau di Indonesia yang banyak memiliki pulau-pulau yang dapat dikembangkan dan menyumbangkan devisa dan memberi nilai ekonomi pada masyarakat lokal.

Mungkin kebanyakan dari kita akan kaget mengetahui harga sebidang tanah di pulau atau gili di kawasan Kepulauan Sunda Kecil ini dan lebih dashyat nya lagi masih ada yang membelinya terutama orang asing.

Masyarakat kita lebih cenderung untuk mendapatkan uang banyak hari ini daripada stabil untuk jangka panjang sehingga apabila mereka memiliki tanah dan ada yang ingin membelinya maka langsung dijemput tawarannnya walau setelah transaksi terjadi, mungkin tidak lebih dari sebulan uang tersebut sudah tidak bersisa dan jari pun mulai kembali digigitnya karena tidak ada lagi yang bisa dijual atau dijadikan sumber pendapatan.

Tanah di pulau dengan potensi wisata yang menjanjikan bisa sama harganya dengan harga tanah di perkotaan besar dan ini yang membuat banyak  orang yang tergiur dengan tingginya harga tersebut tanpa memikirkan jangka panjang dan tidak ada keinginan mereka untuk mengambangkan wisata di pekarangannya sendiri tanpa menjadi penonton.

Jika tidak ada modal untuk mengembangkan paling tidak bisa membuat konsep jual beli dengan B.O.T (Build-Operate-Transfer) sehingga tanah mereka tidak hilang dan pada akhir perjanjian mereka juga mendapat properti yang ada di atas tanah mereka.

Kejadian Pulau Lantigiang bukanlah yang pertama dan saya harap juga menjadi yang terakhir, dan untuk hal tersebut perlunya kesadaran masyarakat lokal terhadap kepariwisataan (sadar wisata) terutama yang berada di daerah pesisir.

Pemerintah Daerah sebagai Pemegang Kebijakan lebih bisa memberikan penyuluhan dan pelatihan kepada mereka tanpa dipungut bayaran kepada masyarakat lokal ini untuk menumbuhkan kesadaran wisata.

Tanah yang terdapat di pulau-pulau sepertinya hanya menjadi obyek investasi bukan menjadi pendorong investasi yang dapat memberikan nilai ekonomi kepada masyarkatnya, padahal itulah yang seharusnya berlaku di kepariwisataan yaitu pemberdayaan Sumber Alam dan Manusia.

Saya mendengar dari salah satu Kepala Pertanahan di sebuah daerah pada suatu waktu yang mengatakan bahwa apabila kita membeli tanah di pulau, maka harus ada rencana pengembangan atas tanah tersebut dalam konteks pengembangan pariwisata tentunya, namun sepertinya belum banyak yang mengeksekusi rencana yang ada pada proses pembelian tanah itu, hanya di atas kertas.

Saya harap kepada masyarkat lokal yang berada di pulau-pulau di Indonesia untuk sadar bahwa pekarangan mereka adalah milik mereka dan mereka lah yang pantas untuk menjadi terdepan dalam mengembangkannya, tidak untuk dimiliki oleh yang lain namun bisa ikut serta mengembangkannya.

Terlebih kebanyakan dari mereka selalu mengkalim bahwa tanah ini adalah peninggalan orang tua atau nenek moyang mereka yang seharusnya mereka pelihara dan lestarikan sehingga menjadi sebuah legacy bila dikembangkan dan membawa kemakmuran bagi masyarakat sekitar.

Keindahan alam bukan untuk dijual dan dijadikan sebuah obyek investasi karena keindahan alam adalah untuk dinikmati oleh seluruh manusia di bumi ini yang mengunjunginya dan satu lagi bahwa di pulau lah tempat terindah menyaksikan matahari terbit dan terbenam.

Dan ingat bahwa ...Sunrise and Sunset are free.

Salam Pariwisata

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun