Mohon tunggu...
Ahmad Rusdiana
Ahmad Rusdiana Mohon Tunggu... Dosen - Praktisi Pendidikan, Penulis, Peneliti, Pengabdian Kepada Masyarakat-Pendiri Pembina Yayasan Pendidikan Al-Misbah Cipadung Bandung-Pendiri Pembina Yayasan Tresna Bhakti Cinyasag-Panawangan-Ciamis Jawa Barat

“Learning to Explore, Develop, and Serve”

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Membangun Budaya Resolusi Konflik Berbasis Kolaborasi

11 Januari 2025   01:39 Diperbarui: 11 Januari 2025   01:39 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: MSI-Indonesia, tersedia di https://msi-indonesia.com/mengelola-konflik-budaya-organisasi-strategi-untuk-harmoni-di-tempat-kerja

Membangun Budaya Resolusi Konflik Berbasis Kolaborasi

Oleh: A. Rusdiana

Pendidikan di era 5.0 membutuhkan budaya resolusi konflik yang kolaboratif, di mana perbedaan dianggap sebagai peluang untuk belajar. Teori manajemen konflik menekankan bahwa kolaborasi menciptakan solusi yang lebih kreatif dan dapat diterima semua pihak. Namun, GAP yang sering ditemui adalah kurangnya kesadaran dan pelatihan tentang manajemen konflik berbasis kolaborasi, khususnya di kalangan guru dan tenaga kependidikan. Tulisan ini akan membahas pentingnya membangun budaya resolusi konflik berbasis kolaborasi untuk menciptakan harmoni di lingkungan pendidikan dan mempersiapkan generasi emas 2045. Berikut 5 panduan membangun budaya resolusi konflik berbasis kolaborasi untuk menciptakan harmoni di lingkungan pendidikan:

Pertama: Pendidikan Konflik sebagai Bagian dari Pengembangan Profesional; Institusi pendidikan perlu mengintegrasikan pelatihan manajemen konflik ke dalam program pengembangan profesional, melatih guru, dosen, dan kepala sekolah untuk menghadapi konflik dengan pendekatan kolaboratif.

Kedua: Menanamkan Nilai Kolaborasi dalam Kurikulum; Selain pelatihan, nilai kolaborasi harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan. Siswa yang diajarkan untuk bekerja sama dalam menyelesaikan masalah akan tumbuh menjadi individu yang mampu menyelesaikan konflik secara efektif.

Ketiga: Mendorong Diskusi Terbuka di Lingkungan Pendidikan; Diskusi terbuka yang terarah memungkinkan semua pihak berbagi pandangan tanpa takut dihakimi. Kepala sekolah, guru, atau dosen dapat memfasilitasi forum diskusi rutin untuk mengidentifikasi potensi konflik sejak dini.

Keempat: Menyediakan Fasilitas dan Sumber Daya untuk Mediasi; Fasilitas seperti ruang mediasi dan sumber daya seperti modul pelatihan dapat membantu menciptakan lingkungan yang mendukung budaya kolaborasi.

Kelima: Menghargai Peran Pemimpin Kolaboratif; Pemimpin pendidikan yang memprioritaskan kolaborasi dalam penyelesaian konflik harus dihargai dan dijadikan teladan. Mereka mampu menciptakan suasana kerja yang harmonis dan produktif.

Budaya resolusi konflik berbasis kolaborasi adalah langkah penting untuk menciptakan harmoni di lingkungan pendidikan. Hal ini akan berimplikasi pada: 1) Integrasi Nilai Kolaborasi dalam Pendidikan: Kolaborasi harus menjadi bagian integral dari program pendidikan; 2) Penguatan Peran Pemimpin Pendidikan: Pemimpin yang mendukung budaya kolaborasi harus didukung dengan pelatihan dan penghargaan; 3) Evaluasi Berkala: Institusi pendidikan harus melakukan evaluasi untuk memastikan keberhasilan implementasi budaya kolaborasi.

Dengan budaya resolusi konflik berbasis kolaborasi, institusi pendidikan dapat menjadi tempat yang harmonis, produktif, dan siap menghadapi era 5.0. Wallahu A'lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun