Penguatan Hak Anak sebagai Pilar Demokrasi: Membangun Generasi Z untuk Indonesia Emas 2045
Oleh: A. Rusdiana
Hak anak untuk didengar diakui sebagai hak asasi manusia melalui Konvensi Hak Anak PBB, yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Hak ini tidak hanya tanggung jawab moral tetapi juga kewajiban hukum. Dalam konteks demokrasi, mendengarkan suara anak-anak memperluas inklusivitas, menciptakan kebijakan yang lebih relevan, dan menyiapkan Generasi Z untuk peran penting di masa depan. Namun, tantangan muncul karena GAP dalam implementasi di lapangan. Suara anak-anak, khususnya Generasi Z, sering kali diabaikan dalam proses pengambilan keputusan. Fenomena ini memperlihatkan kurangnya mekanisme yang mendukung hak partisipasi mereka, terutama dalam pendidikan, lingkungan sosial, dan akses teknologi. Tulisan ini mengupas pentingnya memperkuat hak anak untuk didengar sebagai upaya membangun demokrasi yang lebih kuat dan memberdayakan Generasi Z untuk menyongsong Indonesia Emas 2045. Berikut ini adalah eksplorasi lebih lanjut mengenai, Penguatan Hak Anak sebagai Pilar Demokrasi:
Pertama: Edukasi Hak Anak untuk Kesadaran Sejak Dini; Meningkatkan pemahaman anak-anak tentang hak mereka adalah langkah pertama. Program pembelajaran di sekolah perlu memasukkan materi hak asasi manusia, termasuk hak anak. Misalnya, pelajaran kewarganegaraan dapat memperkenalkan hak untuk didengar melalui simulasi pengambilan keputusan dalam kelompok.
Kedua: Pengembangan Forum Anak di Tingkat Lokal; Forum anak yang dikelola di tingkat lokal menjadi platform nyata bagi Generasi Z untuk menyuarakan pendapat mereka. Pemerintah daerah perlu memastikan setiap wilayah memiliki forum ini, di mana anak-anak dapat menyampaikan aspirasi mereka tentang isu-isu lokal, seperti pendidikan dan lingkungan.
Ketiga: Pelibatan Anak dalam Proses Kebijakan Publik; Keterlibatan anak dalam proses kebijakan dapat diwujudkan melalui perwakilan di dewan konsultasi pemerintah. Misalnya, pemerintah dapat mengundang perwakilan Generasi Z dalam diskusi perumusan kebijakan pendidikan atau digitalisasi.
Keempat: Pemanfaatan Teknologi Digital untuk Partisipasi Anak; Teknologi digital memberikan peluang besar untuk mendengarkan suara anak-anak. Aplikasi survei atau platform konsultasi daring dapat menjadi alat untuk mengumpulkan ide dan masukan dari Generasi Z. Contohnya, aplikasi seperti Youth Voice dapat digunakan untuk melakukan polling cepat tentang isu tertentu.
Kelima: Penegakan Kebijakan untuk Melindungi Hak Anak; Regulasi yang ada harus diimplementasikan secara konsisten. Pemerintah dapat membentuk tim pemantau independen untuk mengawasi pelaksanaan hak anak di berbagai sektor. Tim ini bertugas memastikan hak anak untuk didengar tidak hanya tercatat di atas kertas tetapi juga diterapkan dalam kebijakan dan praktik nyata.
Penguatan hak anak untuk didengar bukan hanya tentang keadilan, tetapi juga investasi dalam demokrasi yang berkelanjutan. Dengan memastikan partisipasi Generasi Z, kita membangun bangsa yang lebih inklusif dan tangguh dalam menghadapi tantangan era 5.0. Untuk itu, diperlukan Upaya strategis, diantaranya: 1) Pendidikan: Integrasikan hak anak dalam kurikulum untuk meningkatkan kesadaran; 2) Infrastruktur Partisipasi: Kembangkan forum anak di semua tingkatan; 3) Teknologi: Gunakan aplikasi digital untuk melibatkan anak-anak secara langsung; 4) Kebijakan: Pastikan regulasi hak anak dilaksanakan dengan pengawasan ketat; 5) Keterlibatan Berkelanjutan: Berikan peran aktif kepada Generasi Z dalam pengambilan keputusan strategis.
Dengan strategi ini, Generasi Z tidak hanya menjadi penerima manfaat tetapi juga penggerak utama menuju Indonesia Emas 2045. Wallahu A'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H