Kedaulatan Tuhan atau Kedaulatan Rakyat? (Prof. Dr. M. Fathi Osman)
Kontroversi sekitar hubungan kedaulatan Tuhan versus kedaulatan rakyat sebenarnya bersifat teoritis belaka yang berkaitan dengan semantik dan bukan substansi. Usaha kaum Islamis untuk menegaskan adanya perbedaan antara negara Muslim yang bermuara kepada Syura dan negara demokrasi dimana Pemerintah adalah "dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat". Argumen tersebut muncul dari miskonsepsi tentang batas legislasi Tuhan dalam Islam.Â
Dalam Al-Qur'an hanya sekitar 228 ayat yang berkaitan dengan urusan-urusan duniawi (mu'amalat), sementara jumlah keseluruhan ayat Al-Quran adalah 6236 ayat.Â
Nabi bersabda "saya hanyalah manusia biasa, jika saya memerintahkan kalian dengan hal yang berkaitan dengan agama maka laksanakan, tetapi apabila saya memerintahkan kalian dengan pendapatku sendiri, sesungguhnya saya ini manusia biasa" (HR Muslim dan Nasa'i)
Dalam hadis lain Nabi bersabda "kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian". (HR Muslim)
Ketika seorang sahabat bertanya kepada Nabi tentang lokasi prajurit Muslim pada pernah badar, apakah ditentukan oleh Wahyu dari Allah atau pendapat Nabi sendiri beliau menjawab bahwa itu hanyalah pendapat beliau sendiri. Nabi sendiri pernah menegaskan ketika mengutus Mu'adz bin Jabal sebagai hakim, bahwa sejumlah kasus yang dihadapkan kepadanya barangkali tidak ditemukan nashnya secara eksplisit di Al-Qur'an dan hadis. Beliau setuju dengan pendapat Mu'adz bahwa ia akan menggunakan akal sebaik mungkin dalam kasus-kasus seperti itu.
Para fuqaha telah mengklasifikasikan 'hak-hak' dalam hukum Islam sebagai hak Allah, hak manusia, dan hak kombinasi Allah dan manusia. Hak Allah misalnya selain ibadah kepada Allah adalah wilayah-wilayah publik seperti pajak bumi dan hukuman. Tetapi hal itu tidak menghilangkan hak-hak manusia. Kesepakatan umat berbeda dengan kesepakatan ulama. Kesepakatan umat memiliki tempat tersendiri dalam hukum Islam. Banyak hadis diriwayatkan justru berdasarkan pada kesepakatan umat dan bahkan mengikuti kemauan umat mayoritas.
Dapat dikatakan bahwa upaya-upaya yang terus menerus dalam mengembangkan hukum Islam telah dilakukan oleh para ulama dan ahli hukum, bukan oleh masyarakat biasa. Bukankah mereka adalah manusia biasa? Memang bisa dikatakan bahwa upaya-upaya mereka itu didasarkan pada teks Al-Qur'an dan Sunnah. Tidak ada keraguan tentang hal itu tetapi masalahnya adalah apakah nash-nash itu mampu menyediakan basis bagi lahirnya produk hukum yang maha kaya dan komprehensif yang telah dikembangkan selama beberapa abad dalam situasi yang berbeda? Kenapa nash-nash itu tidak mengarahkan masyarakat Muslim dengan jalan yang sama di negara Muslim Kontemporer?
Setiap muslim meyakini bahwa, "kedaulatan adalah milik Tuhan" di seluruh jagad raya ini termasuk negara Muslim, tetapi siapa yang mewakili kedaulatan ini di negara Muslim? Para fuqaha atau ulama tidak dapat mengklaim otoritas Ilahi atau disposisi klerikal dan akan selalu ada para ahli hukum di setiap dewan-dewan pemerintahan seperti halnya hakim di setiap peradilan.
Dengan demikian manusia dipandang sebagai pelindung keadilan dan petunjuk Tuhan yang direpresentasikan dalam sumber-sumber yang suci. Kedaulatan Tuhan hanya dapat diperoleh melalui umat manusia, dan tidak seorang penguasa pun atau faqih dapat mengklaim tidak pernah berbuat salah. Suatu negara Muslim tidak bersifat teokratis dan ulama bukanlah klergi. Masyarakat dan para wakilnya melaksanakan apa yang dapat mereka lakukan sebagai pelindung keadilan dan petunjuk Tuhan di muka bumi.
Jika mereka melakukan kesalahan maka hal itu sangat alami dan lumrah serta dapat dikoreksi oleh lembaga-lembaga keadilan dan apa yang sekarang kita kenal sebagai proses "checks and balances". Lagi pula tidak memilih pemerintah atau partai yang terkait dengan Islam bukan berarti memilih untuk melawan Islam, tetapi melawan suatu penafsiran tertentu tentang Islam.