Kualitas proses pembelajaran di Nusa Tenggara Barat (NTB) khususnya jenjang SMP dan SMA/SMK sederajat dianggap cukup memprihatinkan sebagaimana termuat dalam Rapor Pendidikan Publik 2022. Dalam hal Literasi dan Numerasi, NTB masih dalam kategori kuning atau kurang dari 50% siswa telah mencapai batas kompetensi minimum untuk literasi membaca. Selain itu, dalam hal indeks kualitas pembelajaran, NTB masih dalam kategori merah, artinya kualitas pembelajaran NTB masih sangat kurang dan perlu banyak peningkatan. Salah satu penyebab masalah pembelajaran tersebut adalah penyebaran guru yang tidak merata di NTB. Kepala Bidang Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Dinas Dikbud NTB, Nur Ahmad pada Selasa, 12 September 2023 mengakui hal tersebut.
Salah satu indikator untuk melihat pemerataan layanan pendidikan yang berkualitas adalah rasio murid-guru. Angka ini mencerminkan rata-rata jumlah murid yang menjadi tanggung jawab seorang guru. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru Pasal 17 menyebutkan bahwa pada jenjang SD, SMP, dan SMA idealnya satu guru bertanggung jawab terhadap 20 murid. Sedangkan pada jenjang SMK idealnya satu guru bertanggung jawab pada 15 murid. Saat ini terdapat 94.145 guru di Provinsi NTB, serta rasio antara guru dan murid sudah termasuk ideal. Hal ini berarti bahwa Provinsi NTB tidak kekurangan guru akan tetapi masalah utama yang terjadi adalah tidak meratanya penyebaran guru di tiap sekolah yang ada di Provinsi NTB. Hal ini tercermin dari data pokok pendidikan seperti pada gambar berikut.
Gambar 1. Rasio Murid Guru Menurut Jenjang Pendidikan di Provinsi NTB tahun 2023.
Gambar 2. Rasio Murid Guru Kurang Ideal di SMA dan SMK di Provinsi NTB tahun 2023.
Menurut kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) permintaan mutasi dari guru yang berstatus sebagai PNS menjadi salah satu alasan rusaknya sistem distribusi guru. Oleh karena itu pemerintah menghentikan pengangkatan CPNS untuk formasi guru yang digantikan dengan jalur Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Untuk mendukung tujuan pemerataan guru, dikeluarkan Peraturan Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 5 Tahun 2019, P3K tidak dapat melakukan mutasi selama masa perjanjian kerja berlangsung. Hal ini dikarenakan P3K terikat dengan kontrak kerja pada suatu instansi, sehingga tidak dapat dipindahkan ke instansi lain tanpa melanggar kontrak. P3K juga tidak dapat mengisi jabatan lain selain jabatan yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja. Jika P3K ingin pindah tempat kerja atau jabatan, maka harus mengakhiri kontrak kerja terlebih dahulu dan mengikuti seleksi P3K lagi.
Pada kenyataannya ada beberapa P3K yang lulus tetapi formasinya tidak sesuai dengan domisili asal. Tentunya hal tersebut menjadi penyebab adanya beberapa guru P3K yang melakukan “mutasi”. Selain itu proses pengangkatan dan perpindahan guru sering kali tidak sesuai analisis kebutuhan guru (AKG). Ini terjadi karena adanya perbedaan formasi P3K dengan kebutuhan guru yang sebenarnya di suatu sekolah yang disebabkan oleh terlambatnya informasi kebutuhan guru. Sehingga penyebaran guru menjadi tidak merata karena formasi guru P3K tidak sesuai dengan kebutuhan guru yang sebenarnya di Sekolah. Hal ini terjadi karena adanya campur tangan pihak lain dalam pengaturan distribusi guru dan ketaatan guru dalam menerima penempatannya. Contohnya beberapa guru P3K yang baru mendapatkan Surat Keputusan (SK) di Lombok Tengah, jam mengajarnya kurang karena masih banyak guru lainnya. Sehingga dengan terpaksa guru tersebut mengajar pelajaran yang tidak linear dengan spesialisasinya.
Masalah lainnya juga ditemukan enam guru yang masuk dalam penerimaan P3K Lombok Barat dibatalkan penempatannya pada formasi yang ia lulus. Lantaran ketidaksesuaian kualifikasi dengan formasi yang ditempati saat dinyatakan lulus. Dua diantaranya bukan dari guru yang masuk dalam Dapodik Lombok Barat (Lobar) atau berasal dari luar daerah sebagaimana diterangkan oleh Kabid Pengadaan, Mutasi, dan Data Informasi Badan Kepegawaian Daerah dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKDPSDM) Lobar, Lalu Muhammad Fauzi.
Berdasarkan uraian di atas, tentunya pemerintah diharapkan lebih memperhatikan mekanisme penempatan dan mengadakan pengawasan ketat terhadap guru P3K pasca penempatan agar tidak terjadi celah untuk melakukan “mutasi”. Selain itu, kewajiban jam mengajar dapat dikurangi, penambahan konversi nilai tugas tambahan, dan perluasan linearitas mata pelajaran yang harus tervalidasi dalam dapodik dapat dilakukan agar hajat sertifikasi tidak menjadi penghambat pemerataan penempatan guru. Kegiatan “mutasi” ini tentunya tidak dibenarkan jika merujuk pada Peraturan BKN Nomor 5 Tahun 2019, guru P3K yang melakukan “mutasi” dianggap mengundurkan diri. Pemerintah seharusnya lebih responsif dan memberikan sanksi yang sesuai dengan aturan yang tersebut, sehingga program P3K ini dapat berhasil dan terlaksana sebagaimana mestinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H