Mohon tunggu...
Ahmad Abni
Ahmad Abni Mohon Tunggu... Guru - Manusia akan mencapai esensi kemanusiaannya jika sudah mampu mengenal diri melalui sikap kasih sayang

Compasionate (mengajar PPKn di MTsN Bantaeng)

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Suplemen

2 April 2021   12:56 Diperbarui: 2 April 2021   13:29 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika kita membaca dan mendalami konsep pendidikan Paulo Freire, tentu sebagai angkatan kerja kita akan menjadi dilematis bahkan membuat perasaan sedikit tersinggung. 

Feire mengkritik konsep pendidikan yang berstyle "bank" yang membuat pemisalan bahwa semua pelajar adalah obyek investasi dan sumber deposito yang potensial. 

Investornya adalah guru-guru sementara depositonya berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada peserta didik. Peserta didik layaknya sebagai sarana tabungan yang kelak akan dituai hasilnya. 

Bahkan jauh lebih dalam lagi ketika Freire menyebut dan mengkritik gaya pendidikan yang nekrofili. Freire menawarkan bagaimana pendidikan itu harus berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri, pendidikan pembebasan.

Di zaman realistis sekarang ini, konsep pendidikan pembebasan memang sangat dibutuhkan tetapi tampa menafikan bahwa orientasi manusia menginginkan kemapanan ekonomi. Bahkan pendidikan yang baik lagi berkualitas itu sendiri harus ditunjang dengan ekonomi yang baik pula.

Memang umumnya, bahkan diperkuat dan dipertegas dalam dunia bursa kerja bahwa relevansi antara tingkat pendidikan dengan lapangan kerja yang tersedia belum terobohkan. 

Orientasi masyarakat kita untuk menuntut ilmu tiada lain adalah untuk memperoleh pekerjaan yang layak, gaji yang layak dan pada akhirnya dapat menikmati kecukupan dan fasilitas penunjang kehidupan. Tanpa itu, rasanya hidup di dunia ini seperti saja hidup di neraka.

Tentu kita masih ingat ketika pak Dr. Kosmayanto Kardiman sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) bertanya kepada seorang anak yang bernama Rosita terkait cita-citanya di masa depan. 

"Saya mau menjadi bintang film, pemain sinetron. Mereka terkenal, banyak uang dan mudah kalau membeli sesuatu", jawab Rosita. 

Pandangan anak yang polos ini tentu sangat realistis dan tidak salah. Bekerja untuk memperoleh upah adalah pandangan realistis. 

Dan hampir sebagian besar kita akan mendapati anak-anak yang mempunyai impian sebagaimana impian yang disampaikan oleh Rosita meskipun pekerjaan impiannya berlainan bentuk. Dan saya dapat memastikan bahwa tidak akan ada anak yang bermimpi untuk jadi pengangguran.

Bagi saya, pengangguran adalah frase yang sangat menakutkan bagi siapa saja apatah lagi bagi orang yang bergelar sarjana. Pasca menyelesaikan studi strata satu, saya lebih memilih untuk tetap tinggal di kota madya tempat menimba ilmu ketimbang pulang ke kampung halaman. 

Gelar sarjana pendidikan membuatku optimis untuk mendapatkan pekerjaan mengajar, di kota begitu bertebaran sekolah yang mungkin butuh tenaga pengajar sesuai bidang ilmuku.

Memilih untuk tidak menganganggur dengan melabuhkan diri pada pekerjaan yang tidak sesuai latar pendidikan pernah juga saya alami. 

Kurang lebih dua tahun menjalani pekerjaan yang kontras itu, hampir saja memuat saya lupa akan dasar-dasar keilmuan saya sebagai pendidik dan lebih mahir menggambar dan mengelolah data mentah sebagai karyawan di perusahaan konsultan sipil engineering. 

Saya belajar secara autodidak, meng-karbit diri sampai mematangkan diri lebih cepat dari sepantasnya disbanding yang kuliah tekhnik sipil. Setiap hari bahkan sampai malam bergelut dengan akurasi data dan angka di microssoft excel untuk diterjemahkan dalam aplikasi penggambar autocad.  

Setelah lulus sebagai pengawai negeri sipil dengan jabatan fungsional guru, saya sampai pada sebuah kesimpulan bahwa pekerjaanku selama ini di sipil engineering sangat menunjang profesi saya saat ini sebagai guru. 

Pengenalan akan mocrosoft excel dan formulanya ibarat prajabatan dan tahap pengkaderan serta pematangan diri sebelum sampai melaksanakan tugas yang sebenar-benarnya.

Cukup banyak di antara kita yang merasa tercerabut dan terasing dari realitas keilmuannya karena bergelut dengan pekerjaan yang berbeda dengan latar ilmuanya. 

Namun kita kurang sadar bahwa sebenarnya bisa jadi pekerjaan yang berbeda dengan latar keilmuan yang sementara dijalani saat ini adalah suplemen untuk melengkapi pekerjaan kita disuatu saat nanti yang sudah benar-benar sesuai dengan latar keilmuan.

Pekerjaan apapun itu, sebenarnya sangat membutuhkan interdisiplin ilmu untuk menunjang profesionalitas kita. Misalnya saja, profesi guru harus ditunjang ilmu desain grafis, ilmu psikologis, ilmu agama, ilmu computer dan sebagainya. 

Begitupun profesi sebagai dokter juga membutuhkan disiplin ilmu lain. Tuntutan di era 4.0 memang membuat kita sebagai angkatan kerja harus menguasai banyak keilmuan dan tidak boleh hanya mahir pada satu bidang ilmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun