Judul ini merupakan hasil refleksi atas diskusi yang terjadi dalam sebuah Forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Kami sebagai guru mata pelajaran PPKn yang berhimpun dalam MGMP PPKn di tahun 2021 ini telah menyepakati sejumlah topik manarik yang harus diselesaikan sebagai bentuk aplikasi dari pengembangan keprofesian berkelanjutan, kira-kira sebagai pengembangan diri untuk menambah kualitas kinerja. Topiknya cukup beragam mulai dari yang bersifat teknis, aplikatif dan juga wacana pendidikan kekinian.
Dalam pertemuan yang kedua ini (Senin, 8 Februari 2021), sebenarnya salah satu materi yang diangkat dalam diskusi adalah tema hangat dan sangat kontemporer terkait dengan Asesmen Nasional (AN). Tentu tema ini sangat menarik, apalagi setelah Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat Edaran (SE) tentang peniadaan Ujian Nasional (UN) tahun 2021. Sebagai rentetan dari hadirnya surat edaran tersebut, maka Ujian Nasional tidak lagi menjadi barometer dalam penentuan kelulusan termasuk bukan menjadi prasyarat dalam seleksi masuk perguruan tinggi.
Perbedaan mendasar sebelum adanya surat edaran ini adalah Ujian Nasional masih mendapatkan porsi dalam penentuan kelulusan meskipun hanya 30% dan 70% diambil dari rata-rata nilai rapor dan ujian sekolah. Surat Edaran nomor 1 tahun 2021 ini, penentuan kelulusan peserta didik disederhanakan, cukup dengan menyelesaikan program pembelajaran yang dibuktikan dengan nilai rapor setiap semester, nilai sikap/perilaku minimal baik dan mengikuti ujian yang diselenggarakan satuan pendidikan yang sifatnya cukup optional.
Ujian Nasional telah ditiadakan, sedangkan Asesmen Nasional bukanlah pengganti sebab ranahnya berbeda. Asesmen Nasional lebih cenderung untuk menilai mutu setiap sekolah/madrasah dengan merujuk kepada hasil belajar peserta didik berupa kompetensi literasi, numerasi dan survei karakter. Disamping itu, Asesmen Nasional untuk mengukur kualitas proses belajar mengajar sekaligus untuk mengetahui iklim satuan pendidikan dalam mendukung pelaksanaan proses pembelajaran. Hemat saya, hasil dari Asesmen Nasional akan dijadikan rujukan dalam perumusan dan pengambilan kebijakan pemerintah dalam memperbaiki tata kelolah pendidikan kita.
Benarkah demikian?
Melalui inisiatif eksekutif, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional akan mengalami revisi. Bahkan bulan November 2021 tahun ini, draf perubahan UU tersebut ditargetkan telah selesai. Demikian pula, Kemendikbud sementara menyusun Peta Jalan Pendidikan (PJP) Indonesia untuk 15 tahun kedepan jika dihitung dari 2020 - 2035. PJP ditargetkan selesai paling lambat Oktober 2021. PJP ini bahkan digadang-gadang akan dipersipkan sebagai Peraturan Presiden untuk lebih mendukung pelaksanaan UU Sisdiknas.
Langkah ini adalah sebuah langka akseleratif pemerintah, tentu kita sebagai masyarakat publik patut mengapresiasi. Langkah apresiasi itu harus ditujukkan dengan melakukan pengawalan dan pengawasan dalam setiap pembahasan draf. Jangan sampai poin-poin penting yang mendukung majunya pendidikan justru luput dari perhatian pemerintah. Misalnya saja, kewajiban dana pendidikan 20% dari APBN dan APBD masih belum maksimal, manajemen pendidikan, kualitas dan kesejahteraan guru, sistem pembelajaran, kurikulum dan sarana-prasarana.
Sebagai bagian dari langkah pengawalan itu, tentu kita patut mempertanyakan adanya distingsi antara asesmen nasional, revisi UU Sisdiknas dan PJP.
Kemendikbud menargetkan pelaksanaan asesmen nasional antara September hingga Oktober 2021. Artinya dalam draf perubahan UU Sisdiknas dan PJP yang dipersiakan pemerintah tidak secara penuh mengakomodir hasil dari asesmen nasional kali ini. Sebagian besar draf telah ada, sementara asesmen nasional tak kunjung dilaksakanan. Ataukah memang tidak perlu menunggu hasil dari asesmen nasional itu? Padahal prinsip dasar dari pelaksanaan asesmen nasional tidak lepas dari upaya untuk memperbaiki mutu sekolah/madrasah, memperbaiki proses belajar mengajar serta membangun iklim dan lingkungan belajar yang baik.
Kita telah memahami bahwa dalam prinsip penghapusan, pencabutan atau pun perubahan peraturan perundang-undangan nasional harus memperhatikan dinamika yang terjadi dalam masyarakat serta tuntutan dalam penyelenggaraan hidup bernegara. Artinya, sebuah regulasi lahir dapat bersumber dari proses logika deduktif, peristiwa mendahului lahirnya hukum.
Atau mari kita tempatkan saja hasil dari asesmen nasional itu pada posisi logika hukum induktif. Dimana hukum lebih dahulu ada, mendahului proses dinamika yang terjadi dalam masyarakat kita. Jika yang demikian itu benar adanya maka revisi UU Sisdiknas kali ini tak ubahnya sebagai “hanger” sementara dinamika dari hasil asesmen nasional itu sebagai pakaian yang akan digantungkan pada UU Sisdiknas nantinya.
Wallahu a’lam bissawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H