Tak hanya masyarakat umum yang menjadi tokoh penting, tetapi brand atau merek juga harus mempertimbangkan adanya sebuah hubungan dengan pemangku kepentingan lainnya seperti pemasok, mitra bisnis, dan karyawan. Tantangan terbesarnya ialah menciptakan adanya pesan dan tindakan yang tidak hanya mampu memenuhi harapan para konsumen, namum juga men-support keseimbangan dan keadilan global.
Strategi Krisis yang Diperlukan
Brand yang saat ini masih terjebak dalam dilema ini harus benar-benar menyusun strategi krisis yang matang. Hal ini perlu melibatkan adanya identifikasi dan mitigasi risiko reputasi, penentuan framing pesan yang diinginkan, serta penguatan komitmen dari brand terhadap nilai-nilai fundamental mereka. Kesinambungan dan konsistensi dalam komunikasi menjadi tolak ukur untuk merangkai kembali kepercayaan dan dukungan dari publik.
Mengatasi Dilema dengan Bijak
Dalam mengatasi dilema ini, sebuah brand harus bisa membuktikan independensinya dan memperjelas nilai-nilai inti mereka kepada khalayak umum. Tidak cukup dengan hal itu, mereka juga perlu menjalin komunikasi terbuka dengan para konsumen, menjelaskan posisi mereka yang sebenarnya, serta memastikan bahwa tindakan mereka sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anut. Untuk saat ini dilema ini tergolong sulit, dan juga dapat menjadi kesempatan bagi brand untuk merestorasi citra dan membuktikan komitmen mereka terhadap keadilan dan keseimbangan global.
Perlu adanya kebijaksanaan dan keberanian untuk mengelola nama baik sebuah brand ditengah isu-isu politik internasional yang tengah memanas. Dalam situasi ini, sebuah harus menjadi agen perubahan yang bijak serta mampu memberikan pembuktian bahwa mereka mampu membawa nilai positif ke dunia tanpa perlu terlibat dalam konflik politik yang rumit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H