Partisipasi perempuan dalam dunia politik semakin luas. Selain dukungan dari perundang-undangan, sudah banyak sosok perempuan yang maju dalam kancah perpolitikan, memberi inspirasi bagi masyarakat.
Namun, jejak perjuangan perempuan untuk keluar dari stigma "rumah tangga" yang seakan hanya sebagai pelengkap, pendamping keluarga, ternyata cukup panjang. Pada masa Orde Baru, organisasi perempuan hanya dipusatkan pada bidang "keperempuanan".
Dikutip dari portal resmi LIPI, organisasi terkenal pada masa itu, Dharma Wanita, yang berdiri pada 1974, dikenal sebagai organisasi istri pegawai negeri. Program yang terkenal ialah Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK), dengan kegiatan yang mencakup lingkup rumah tangga.
Saat itu berjamuran pula Persatuan Istri Tentara, seperti Candra Kirana untuk istri angkatan darat, Jalasenastri untuk istri angkatan laut, atau PIA Ardhya Garini untuk istri angkatan udara, serta Bhayangkari untuk istri anggota Polri.
Setelah rezim Orba lengser, peran perempuan mulai keluar dari stigma tersebut. Bahkan, partai politik mulai memasukkan perempuan dalam struktur kepartaiannya. Lebih jauh, amandemen UUD 1945 telah memuat unsur kesetaraan gender dalam bentuk persamaan hak dan kewajiban antar sesama warga negara dalam semua bidang kehidupan.
Hal tersebut semakin diperkuat dengan UU No. 39 Tahun 1999 pasal 46 yang menyebutkan bahwa HAM menjamin keterwakilan perempuan, baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Pencapaian yang paling mencolok adalah ketika para aktivis perempuan berhasil mendorong aturan tentang kewajiban kuota 30% bagi calon legislatif perempuan. Pada UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, misalnya, mewajibkan parpol untuk menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun kepengurusan di tingkat pusat.
Selain itu amanah untuk menyertakan perempuan dalam politik juga diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR-DPRD dan UU No.7 Tahun 2007 tentang Pemilu.
Persentase 30% tersebut diambil berdasarkan hasil penelitian PBB yang menyebutkan bahwa jumlah ini memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga publik.
Meski demikian, keterpilihan caleg perempuan dalam pemilu harus menjamin kualitas dan kompetensi. Artinya, perempuan yang terpilih memang memiliki kompetensi untuk duduk sebagai perwakilan rakyat, sama halnya dengan kontestan laki-laki. Â
Sementara itu, di Indonesia sendiri terjadi peningkatan jumlah perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR RI. Menurut Ketua DPR RI Puan Maharani, pada periode 2014-2019 ada sekitar 17% anggota DPR perempuan.
"Dan di periode 2019-2024 jumlahnya meningkat menjadi sekitar 21%. Bahkan banyak anggota perempuan DPR-RI yang sekarang menempati posisi pimpinan Alat Kelengkapan Dewan," kata Puan.
Selain itu, lanjut dia, di DPR RI jumlah anggota perempuan sudah mencapai sekitar 30% dari total anggota DPD. Meskipun demikian, peran perempuan tidak hanya dalam dunia politik. Terlebih lagi pada masa pandemi Covid-19 ini yang membutuhkan kerja sama berbagai kalangan dan lapisan masyarakat.
"Saya juga ingin mengingatkan bahwa perempuan harus berperan aktif, jika kita ingin Indonesia menang dari Pandemi Covid-19," ucap Puan.
Menurut dia, perempuan juga terdampak besar dengan adanya Covid-19. Di sisi lain, perempuan juga memiliki peran besar dalam melawan pandemi ini.
"Perempuan berperan penting dalam menanamkan adaptasi kebiasaan baru di dalam keluarga, lingkungan sekitar, tempat kerja, dan di manapun kita berada," kata perempuan pertama yang menjadi Ketua DPR RI itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H