Mohon tunggu...
Ahmad Said Widodo
Ahmad Said Widodo Mohon Tunggu... Sejarawan - Peneliti dan Penulis Sejarah dan Budaya

Peneliti dan Penulis Sejarah dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sejarah Vihara Budi Asih Purwakarta

19 Juli 2022   10:10 Diperbarui: 28 Juli 2022   19:51 3776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dewi Kwan Im (Kuan Yin atau Avalokiteśhvara Boddhisattva). Foto: Ahmad Said Widodo

Dahulu di Kabupaten Karawang yang beribukota di Purwakarta pernah ada pemimpin masyarakat (wijkmeester) Tionghoa yang disebut sebagai Luitenant der Chienezen dan pemimpin masyarakat (wijkmeester) Arab yang disebut sebagai Luitenant der Arabieschen. Biasanya mereka yang terpilih adalah mereka yang paling kaya-raya, berwibawa dan berpengaruh dalam masyarakatnya, terkadang juga alim ulama yang sangat mumpuni.

Di wilayah Purwakarta (Kabupaten Karawang), yang pernah menjabat, misalnya:

  • Pada tahun 1827 ada Umar Thalib, Luitenant der Arabieschen dan Ko Thian Cong, Luitenant der Chienezen.
  • Pada tahun 1835 ada Ouw Kong Hang, Luitenant der Chinezen.
  • Pada tahun 1925--1942 ada Syeh Ali Hasan bin Ali Bajri, Luitenant der Arabieschen.

Pemerintah Belanda kemudian mengembangkan pusat perniagaan di kedua wilayah yang sebelumnya sudah lama ada secara tradisional. Masyarakat Arab diberikan pusat perniagaan berupa Pasar Rebo yang berada di Desa Nagrikidul (sekarang Kelurahan Nagrikidul). Masyarakat Tionghoa diberikan pusat perniagaan berupa Pasar Jumat yang berada di Desa Nagrikaler (sekarang Kelurahan Nagrikaler). Orang Belanda dalam hal menulis kata "nagri" sering juga ditulis sebagai "negorij".

Jika pada masa itu masyakat pribumi, khususnya masyarakat keturunan Sunda dan Jawa yang beragama Islam telah memiliki bangunan rumah ibadah berupa masjid dan mushala (tajug atau langgar) di seantero wilayah Purwakarta, maka masyarakat Tionghoa juga menganggap perlu dibangun sebuah rumah ibadah berupa biara (vihara, wihara, kelenteng atau bio). Pada akhirnya masyarakat Tionghoa mulai mempunyai rumah ibadah untuk umat pemeluk agama  Buddha, Kong Hu Cu dan Tao yang disebut Tridharma, walaupun bangunannya belum semegah sekarang. 

Kemudian masyarakat Tionghoa berhasil mempunyai rumah ibadah yang megah dengan ciri khas warna merah dengan tulisan berwarna emas dan dengan segala perlangkapan peribadatan lainnya dan diresmikan pada tahun 1917 dan diberi nama Shen Tee Bio yang sekarang berganti nama menjadi Vihara Budi Asih yang dapat dibuktikan dengan keberadaan ciam si atau tiam si (tabung nasehat atau ramalan) yang beraksara Mandarin, yang terbuat dari seruas bambu gombong (Gigantochloa pseudoarundinacea).

Vihara Shen Tee Bio kadang-kadang disebut juga dengan Kuan Tek Kun Bio dan Kwan Kong Bio, sesui dengan rupang utama vihara Nama sebutan untuk Kuan Kong sendiri itu cukup banyak, di antaranya:

  • Kwan Kong
  • Kwan Shen Tee Kun
  • Kwan Yu
  • Kwan Yun Chang
  • Kwan Tek Kun

Ciam Si asli Shen Tee Bio, 1917 yang masih tersimpan di ruangan belakang Vihara Budi Asih Purwakarta. Foto: Ahmad Said Widodo
Ciam Si asli Shen Tee Bio, 1917 yang masih tersimpan di ruangan belakang Vihara Budi Asih Purwakarta. Foto: Ahmad Said Widodo

Vihara Budi Asih pada saat ini masih berada tetap di tempat yang sama sejak dahulu hingga sekarang yang terletak di Jalan Jenderal Ahmad Yani Nomor 6A, Lingkungan Kamboja, Kelurahan Nagritengah, Kecamatan Purwakarta, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat 41114. Bangunan ini letaknya bersebelahan dengan Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1 Nagritengah Purwakarta. 

Jika kita hendak menuju ke vihara ini, maka dari arah Patung Jenderal Sudirman di perempatan jalan antara Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Surawinata dan Jalan Jenderal Ahmad Yani Purwakarta, kita dapat berbelok ke arah Barat pada Jalan Jenderal Ahmad Yani sekitar 75 meter atau 1 menit berjalan kaki. Jadi cukup dekat saja.

Sementara masyarakat suku Sunda, biasanya dari Kota (Gemeente) Bandung, Sukabumi, Bogor dan Kabupaten (Regentschap) Kuningan serta dari suku Jawa dan suku-suku bangsa lain yang beragama Kristen Protestan juga mempunyai rumah ibadah berupa Gereja Kristen Pasundan di Purwakarta. 

Sejarah kehadiran jemaatnya berawal dari tahun 1916. Zendeling A. Vermer yang berkedudukan di Batavia datang untuk membaptis beberapa anak keturunan Tionghoa di Sekolah Zending. Kemudian pada tanggal 25 Juli 1917 Nederlandsche Zendings Vereeniging (NZV) menempatkan A. Ardja sebagai guru di sana. Pada tanggal 14 November 1934 gedung Sekolah Zending diresmikan menjadi gedung gereja dengan pendeta Maat Rikin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun