Mohon tunggu...
Ahmad Said Widodo
Ahmad Said Widodo Mohon Tunggu... Sejarawan - Peneliti dan Penulis Sejarah dan Budaya

Peneliti dan Penulis Sejarah dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Siti Rukiah Kertapati, Tetanggaku dan Pujangga Indonesia yang Terlupakan Jaman

22 Desember 2021   10:10 Diperbarui: 30 September 2023   18:51 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Pada saat aku duduk di bangku kelas 1 Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Purwakarta pada tahun 1979, aku membaca buku “Kesusasteraan Indonesia Untuk SMP” karya Drs. Abdullah Ambary, Penerbit Djatnika, Bandung, aku dibuat kaget sekaligus takjub membaca sebuah nama S. Rukiah yang dituliskan lahir di Purwakarta, pada tanggal 25 April 1927. Itu artinya sama dengan tempat kelahiranku, Purwakarta, Jawa Barat. Tulisan dalam buku itu sangat singkat sehingga tidak cukup informatif bagiku.

Kekagetan sekaligus ketakjubanku aku sampaikan pada ibuku dan ibuku berkata: “Ya anakku, benar sekali, ibu Rukiah itu adalah seorang pujangga Angkatan Pujangga Baru atau Angkatan 45 dan ibumu ini sering membaca buku-buku karyanya ketika ibumu ini masih gadis sekolah di SMP Bruderan, Purworejo dan Sekolah Guru Kepandaian Puteri (SGKP) disebut juga Sekolah Kartini dan Sekolah Van Deventer, Semarang, Jawa Tengah.”

Lantas aku bertanya, “Dimanakah sekarang beliau berada? Apakah beliau masih hidup?” Ibuku menjawab, “Ya, anakku, beliau adalah sahabat ibu dan menjadi tetangga kita di sini di lingkungan kampung ini?” “Benarkah, bu?” “Benar, nak,” jawab ibuku. “Lebih tepatnya dimana, bu?” tanyaku menyelidik dan penasaran. “Beliau tetangga RT kita se-RW di sebelah Barat Laut, masih di Jalan Kamboja, Purwakarta.”

Kemudian pada beberapa hari sesudah itu, kebetulan ibuku mengajak pergi silaturahim kepada salah seorang tetangga se-RW dan kebetulan sekali, ibuku mengajakku melewati rumah dimana ibu Rukiah tinggal. “Nak, beberapa hari yang lalu, kamu pernah bertanya pada ibumu, dimana rumah ibu Rukiah. Ini adalah rumah beliau, nanti kapan-kapan ibu akan perkenalkan kamu dengannya atau kamu mau berkenalan sendiri? Bukankah kamu seorang yang hobby membaca dan sudah jadi kutu buku?” ibuku memandangku dan aku mengangguk sambil tersenyum, "Ya, bu." "Lantai rumah beliau juga tegel sama seperti lantai rumah kita dan rumah eyangmu," kata ibuku lagi.

Beberapa waktu kemudian aku sengaja naik sepeda jengkiku melewati rumahnya beberapa kali dalam sehari dan Alhamdulillah aku bisa melihatnya berada di beranda rumah, aku tersenyum padanya dan beliau tersenyum padaku. Begitu terjadi hampir setiap hari. Dan pada akhirnya kami jadi sering bertemu, menyapa dan berbincang, meskipun ada kepedihan yang aku bisa tangkap, namun beliau sangat ramah dan sopan kepada siapapun.

Ibuku berceritera, bahwa keadaan politik pada saat pasca peristiwa Pemberontakan G-30-S/PKI  itu membuat bu Rukiah dan suaminya pak Sidik Kertapati mengalami nasib buruk yang berkepanjangan karena terseret arus politik yang pedih pada masa Orde Baru. Namanya jadi “dihilangkan” dari catatan sejarah. Namun, beruntunglah aku dan ibuku bisa mengenalnya sebagai orang yang sangat baik, ramah dan sopan. Entahlah, pada saat itu apakah beliau juga masih diawasi ketat oleh aparat keamanan atau tidak, aku sama sekali tidal tahu karena aku masih remaja yang belum berurusan dengan dunia politik atau sejenisnya.

Memang nasibnya cukup pedih karena pada pasca G-30-S/PKI beliau dipenjara antara 1965/1966 hingga 24 April 1969, aku dengar katanya di Kantor Corps Polisi Militer (Sub Den POM), Purwakarta, dimana ayah mertuaku pernah berdinas di sana sampai pensiun, yang kebetulan kantornya berada di belakang rumahku sekarang. Sedangkan suaminya, pak Sidik Kertapati saat peristiwa G-30-S sedang berada di Republik Rakyat China (RRC), terpakasa menjadi eksil di RRC dan kemudian di negeri Belanda. Sementara beliau harus membiayai keenam putera-puterinya sebagai single fighter yang memang sangat berat, namun mau tidak mau harus dijalaninya karena nasib membawanya kepada takdir yang sulit.

Antara ibuku dan bu Rukiah ada banyak sekali persamaan, dari kemiripan raut wajah pada masa muda, pendidikan sekolah, profesi sebagai guru, maupun keterampilan kewanitaan, seperti menulis, memasak, membuat kue, jahit menjahit, menyulam, merenda, merajut dan lain sebagainya.

Berselang beberapa tahun kemudian aku berkuliah di sebuah perguruan tinggi di Bandung hingga aku pergi bekerja cukup jauh, yaitu ke Timor Timur. Sayangnya ketika aku baru pulang dari Timor Timur setelah melaksanakan tugas sebagai Pegawai Negeri Sipil sejak 1988 – 1995, aku baru mengetahui kabar meninggalnya bu Rukiah pada tanggal 6 Juni 1996. Padahal aku ingin sekali berbincang dengannya di usianya yang semakin tua. Ya, sayang sekali, sudah kehendak Allah demikian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun