Kepengurusan Jabatan Ketua RT dan Ketua RW sesungguhnya bukan hal baru atau barang baru. Sejarah keberadaan kelembagaan RT/RW itu bukan karena warisan penjajah Kolonial Hindia Belanda, melainkan warisan penjajah Jepang. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Osamu Seirei Nomor 7 Tahun 1944 Masehi (2604 Showa).
Sebelum saya memaparkan lebih lanjut Kepengurusan Jabatan Ketua RT dan Ketua RW, ada baiknya, saya ambilkan saja studi kasus di kampung halaman saya, yaitu di Kecamatan Purwakarta, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Hal ini saya ambil sebagai contoh karena sesuai dengan apa yang saya lihat, saya dengar dan saya alami. Studi kasus ini perlu saya sampaikan untuk menjadi bahan perenungan dan pemikiran kita semua. Studi kasus itu saya ambil 3 (tiga) kasus.
- Kasus Pertama, di Lingkungan RW saya sendiri di Kelurahan Nagritengah, ada (dan pernah ada) seorang Ketua RT yang telah dan sedang menjabat untuk jangka waktu yang cukup lama, entah berapa tahun. Demikian juga dengan Ketua RW yang telah menjabat selama 14 tahun, bahkan Ketua RW yang sebelumnya menjabat untuk jangka waktu yang lebih lama lagi, bahkan hingga usianya sudah tua.
- Kasus Kedua, di Lingkungan RW dimana keluarga pihak isteri saya sendiri tinggal di Kelurahan Sindangkasih, ada seorang Ketua RT  yang pernah  menjabat sampai Beliau meninggal dunia beberapa minggu yang lalu.Â
- Kasus Ketiga, di Lingkungan RW paman saya sendiri tinggal di Kelurahan Munjuljaya, Beliau pernah menjabat sebagai Ketua RT dalam jangka waktu yang sangat lama, entah berapa tahun, demikian pula ketika Beliau menjabat sebagai Ketua RW dalam jangka waktu yang sangat lama, bahkan sampai Beliau meningal dunia lebih dari setahun yang lalu.
Mungkin terlintas dalam pikiran kita masing-masing, mengapa hal demikian sampai terjadi? Ada beberapa faktor yang membuat hal itu sampai terjadi dan itu  sepertinya hampir merata di seluruh pelosok tanah air. Lalu, pertanyaannya, apakah faktor-faktor penyebabnya? Saya sedkit banyak menuliskan ini berdasarkan pengalaman saya sendiri yang pernah bekerja, tinggal dan menatap di beberapa wilayah tanah air. Faktor-faktor penyebabya adalah kurang lebih sebagai berikut:
- Faktor kebiasaan atau kealpaan, karena biasanya seorang Ketua RT/Ketua RW yang sudah menjabat, lupa bahwa dia juga harus mau berhenti apabila akhir masa jabatannya tiba. Ibarat kata. "Kalau sudah duduk, lupa berdiri," kata seorang pelawak senior dalam sebuah tayangan iklan furniture beberapa puluh tahun yang lalu pada sebuah stasiun televisi pemerintah. Contoh kasus sebagaimana Kasus Pertama di atas.
- Faktor kekeluargaan atau keturunan, misalnya: suami yang menjabat sebagai Ketua RT/Ketua RW, ketika merasa sudah bosan, lelah, kesibukan pekerjaan dan lain-lain, maka ada yang secara otomatis diestafetkan pada isterinya. Jika sang ayah dan sang ibu sama-sama mengalami rasa bosan, lelah, kesibukan pelerjaan dan lain-lain, maka giliran sang anak atau menantu yang menggantikannya. Contoh kasus sebagaimana Kasus Pertama di atas.
- Faktor keengganan dan kemalasan di antara sesama warga masyrakat untuk menjabat sebagai Ketua RT/Ketua RW karena kesibukan pekerjaan masing-masing dan karena merasa pekerjaan sebagai Ketua RT/Ketua RW adalah pekerjaan sosial kemasyarakatan, sehingga mereka tidak mungkin mengharapkan mendapatkan gaji, honorarium atau sumber pendapat yang lain. Meskipun mereka tahu ada honorarium bagi Ketua RT/Ketua RW yang besarnya pada kisaran Rp 600.000,00 (enam ratus ribu Rupiah) hingga Rp 800.000,00 (delapan ratus ribu Rupiah) atau tergantung kepada kemampuan kabupaten/kota masing-masing dalam hal memberikan honorarium untuk mereka. Namun rata-rata mengatakan pekerjaan sebagai Ketua RT/Ketua RW itu sangat berat di dunia dan berat di akhirat, sementara honorarium dirasa jauh panggang dari api, tidak sesuai dengan standar upah minimum (UMP, UMR atau UMK). Contoh kasus sebagaimana Kasus Kedua dan Kasus Ketiga di atas.
- Faktor ketidaktahuan atau ketidaktaatan terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Banyak Ketua RT/Ketua RW yang sadar, bahwa masa akhir jabatan dirinya sudah hampir habis, sudah habis dan bahkan terlewatkan begitu saja. Sementara banyak oknum Ketua RT/Ketua RW yang melakukan pembiaraan, karena dianggapnya tidak ada satu warga masyarakatpun yang peduli atau minimal tahu sedikit banyak tentang hukum dan peraturan perundang-undangan, khususnya menyangkut Kepengurusan Jabatan Ketua RT/Ketua RW. Lebih parahnya lagi hal ini sering dimanfaatkan oleh oknum Ketua RT/Ketua RW untuk mengundang warga masyarakat untuk rapat warga dan sementara dia sendiri memanfaatkan seseorang atau beberapa orang yang sudah jelas mendukung dirinya. Sehingga ketika rapat warga, mereka akan menggiring opini publik untuk secara aklamasi memilih Ketua RT/Ketua RW petahana (incumbent). Dan itu bisa dilakukan berulangkali. Yang paling mendasar adalah biasanya karena tidak adanya pembagian tugas, kewajiban, kewenangan dan seterusnya dari seorang Ketua/RT/Ketua RW kepada warga masyarakat yang lain, misalnya untuk jabatan sebagai Wakil Ketua, Sekretaris dan Wakil Sekretaris, Bendahara dan Wakil Bendahara, maupun Seksi-seksi.
Padahal perlu diketahui, bahwa Jabatan Ketua RT/Ketua RW itu gampang-gampang susah dan susah-susah gampang, tergantung niat, minat, bakat, kemampuan manajerial, tekad dan semangat (yang bulat). Sebagai contoh, misalnya Administrasi RW yang minimal harus ada dan sengaja diadakan di setiap RW, antara lain:
- Buku Data Pengurus Rukun Tetangga
- Buku Daftar Keputusan
- Buku Register Surat Masuk
- Buku Register Surat Keluar
- Buku Ekspedisi Surat
- Buku Notulen Rapat
- Buku Presensi Rapat
- Buku Tamu Umum
- Buku Tamu Khusus
- Buku Surat Pengantar
- Buku Kas
- Buku Data Induk Penduduk Rukun Warga
- Buku Data Mutasi Penduduk
- Buku Data Rekapitulasi Penduduk Akhir Bulan
- Buku Data Penduduk Tinggal Sementara/ Musiman
- Buku Data Register Kartu Tanda Penduduk
- Buku Rencana Pembangunan
- Buku Kegiatan Pembangunan
- Buku Inventaris Proyek Pembangunan
- Buku Catatan Kejadian
- Buku Daftar Hadir Ronda Malam
- Buku Tamu Menginap
Jadi sekarang pertanyaannya adalah sesungguhnya berapa lama masa jabatan seorang Ketua RT/Ketua RW? Saya ambil studi kasus di Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat:
- Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan, Peraturan Daerah Kabupaten Purwakarta Nomor 12 Tahun 2008 tentang Organisasi Kecamatan dan Kelurahan di Lingkungan  Pemerintah Kabupaten Purwakarta dan Peraturan Bupati Purwakarta Nomor 27 Tahun 2010 tentang Pedoman Penataan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) pada Kelurahan dan Desa di Kabupaten Purwakarta: masa jabatan selama 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal ditetapkan dan dapat menjabat  paling banyak 2 (dua) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
- Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasayarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa dan Peraturan Bupati Purwakarta Nomor 206 Tahun 2021 tentang Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan di Kabupaten Purwakarta: masa jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal ditetapkan dan dapat menjabat  paling banyak 2 (dua) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
Kasus ini, misalnya, terjadi dengan salah seorang Ketua RW yang terpilih melalui Pemilihan Calon Ketua RW pada tahun 2007 yang lalu hingga tahun 2021. Jika menggunakan peraturan perundang-udangan yang lama, berarti masa jabatannya selama 3 tahun. Jika dihitung lamanya menjabat berarti (2021-2007  = 14 tahun; 14 tahun : 3 tahun = 4 periode + 2 tahun. Jika pun dipaksakan menggunakan peraturan perundang-udangan yang baru, berarti masa jabatannya selama 5 tahun. Jika dihitung lamanya  menjabat berarti (2021 - 2007 = 14 tahun, 14 tahun : 5 tahun = 2 periode + 4 tahun. Jadi jelas jika dia dan orang-orang pendukungnya masih punya keinginan untuk menjabat ini harus batal demi hukum dan artinya peluang bagi yang bersangkutan otomatis pupus oleh aturan.
Jangan sampai terjadi perdebatan keras antara pihak yang bersangkutan dengan warga masyarakat yang lain dan/atau dengan pihak Kantor Kelurahan dikarenakan tetap ingin memaksakan kehendak, padahal secara de jure sudah sangat jelas dan secara de facto, sebagian besar warga juga ingin adanya refreshing dan regenerasi, agar ada estafet kepemimpinan dari yang lebh tua kepada yang lebih muda dan agar sama-sama mengalami dan merasakan tanggungawab.