Pernah kita nikmati perbincangan hangat ditemani secangkir kopi tubruk,sementara malam terasa indah meskipun lampu-lampu rumah penduduk,lampu-lampu jalanan ada yang terang, ada yang temaram, ada yang suram dan ada yang redup,
namun terasa indah karena berada di daerah pegunungan sejuk.
Semakin malam udara mulai berubah menusuk hingga ke tulang rusuk,
embun mulai berjatuhan sangat perlahan di reremputan, di dedaunan dan di pucuk-pucuk pepohonan kapuk,
juga pepohonan pinus dan pepohonan teh penduduk tanpa pupuk.
Dan jika aku mandi engkau jerangkan air panas sebab dingin tak bisa dilawan
esok pagi kita akan mendaki sejak kaki gunung hingga ke puncak gunung
biarkan teh dan pinus menjadi teman perjalanan
biar kusematkan bintang di dadamu sebagai pendaki gunung.
Apabila kita tiba di puncak, awan berada di bawah jauh seakan menuju lembah dan jurang,
ingin kutambatkan tonggak sejarah di puncak, bahwa suatu ketika kita pernah berada di sini, meskipun tanpa prasasti namun itu pasti,
meskipun masa depan kita belum pasti,
seabsurd apakah kita bisa bersama selamanya atau kita bersimpang jalan untuk tiba pada tujuan yang berbeda.
Biarkan itu terjadi sesuai apapun yang telah Tuhan guratkan dalam kitabNya,
kita hanya bisa berharap dan mencoba, apapun hasilnya hanya Tuhan Yang Kuasa.
Gunung Puntang, 04 Oktober 1996
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H