Jalan yang menuju ke timur, menghubungkan Pakwan Pajajaran dengan Karangsambung yang terletak di tepi Citarum, melalui Cileungsi dan Cibarusah. Dari Karangsambung membelok ke arah utara sampai ke Tanjungpura yang terletak di tepi Citarum, Karawang. Selanjutnya dari Tanjungpura menuju Cikao dan Purwakarta masa lalu dan berakhir di Karangsambung.
Menurut Sumadio, selanjutnya jalan tersebut bercabang ke arah timur dan selatan. Jalan yang ke arah timur sampai Cirebon lalu berbelok ke selatan melalui Kuningan dan berakhir di Galuh atau Kawali. Sedangkan jalan yang ke arah selatan melalui Sindangkasih dan Talaga dan berakhir juga di Kawali (Sumadio, 1990: 390).
Meskipun kawasan Subang, Bandung dan Sumedang tidak pernah disebut-sebut dalam sumber sejarah klasik, keterangan tentang adanya ruas jalan dari Karangsambung, daerah Purwakarta menuju Cirebon mengarahkan pada asumsi bahwa di kawasan tersebut terdapat klaster pemukiman masyarakat. Hanya saja pada tingkat mana klaster pemukiman tersebut sulit diketahui, apakah setingkat desa (wanua) atau setingkat di atasnya (watak).
Jalan raya tersebut di masa lalu disebut oleh rakyat sebagai jalan kuno atau menurut istilah Amir Sutaarga disebut sebagai sebagai Pajajaran Highway.
Wanayasa adalah sebuah daerah di kaki gunung Burangrang dan sekian juta tahun yang lalu berada di kaki gunung Sunda. Ketika gunung Sunda meletus, abu volkaniknya melahirkan tanah yang subur di daerah sekitarnya, termasuk Wanayasa.
Selain itu juga, melahirkan cekungan-cekungan dalam radius 100 km, yang kemudian di bagian Selatan gunung Sunda dikenal dengan sebutan cekungan danau Bandung Purba. Di bagian Utara, diduga cekungan tersebut masih menyisakan jejaknya yang kini dikenal dengan nama situ Wanayasa dan situ Cibeber, yang disebut masyarakat setempat sebagai pangparatan situ Wanayasa.
Wanayasa berasal dari kata "wana" dan "yasa" yang berarti hutan yang berjasa. Pada jaman kerajaan Sunda (Pajajaran), tercatat dalam beberapa naskah kuno, antara lain Carita Parahiyangan di Wanayasa terdapat sebuah kerajaan bernama Kerajaan Saung Agung dengan rajanya Ratu Hyang Banaspati. Ada dugaan bahwa Batu Tapak di Cekselong (Desa Babakan, Kecamatan Wanayasa) merupakan tinggalan pada masa itu (dan ini perlu penelitian lebih lanjut).
Kerajaan Saung Agung merupakan kerajaan-wilayah Kerajaan Sunda terakhir yang ditaklukkan oleh Kerajaan Cirebon. Pada tahun 1530, bagian Utara Tatar Sunda yang berbatasan dengan sungai Citarum, sebelah Timur telah dapat dikuasai oleh Kerajaan Cirebon. Sedangkan bagian Barat dikuasai Banten. Nama Saung Agung, kemudian diganti dengan Wanayasa, yang merupakan reduplikasi dari nama yang dibawa dari Cirebon.
Hal itu tampaknya ditandai pula dengan banyaknya kesamaan nama tempat yang berada di Wanayasa dan sekitarnya (termasuk Purwakarta) dengan nama yang terdapat di wilayah Cirebon (termasuk Kuningan, Majalengka dan Indramayu).
Nama-nama itu antara lain: Wanayasa, Sindangkasih dan Ciracas (di Cirebon Caracas, sama dengan di Kalijati), Cibuntu, Panembahan, Pawenang, Lemah Duhur, Gandasoli, Leuwihujan dan Gembong (di Cirebon Gembongan), Maniis, Plered dan Palumbon (di Cirebon Plumbon), Bunder, Bongas, Depok, dan banyak lagi yang lainnya.
Menurut Ahmad Said Widodo, di bidang pemerintahan, Wanayasa pernah menjadi kaumbulan dengan nama Umbul Aranon (bandingkan dengan Eronan dalam naskah Bhujangga Manik). Dan ketika merupakan bagian dari Tatar Ukur di bawah Dipati Ukur Wangsanata bernama Ukur Aranon dengan nama umbulnya Ngabei Mertawana.Â