Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun Tahun 2017, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 4% dan berlaku nasional untuk semua anggota DPR.Â
Pada Pemilu 2019 kali ini berbeda jika dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya. Mengapa? Pada Pemilu 2019 Pemilu Presiden digabungkan dengan Pemilu Legislatif berbeda jika dibandingkan dengan Pemilu 2004, 2009 dan 2014.
Pada akhirnya dunia pun menilai, bahwa Pemilu di Indonesia adalah Pemilu terbesar dan terumit yang pernah ada di dunia. Bayangkan saja berapa jumlah pemilih yang memiliki hak pilih, berapa jumlah Penyelenggara Pemilu ( KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten / Kota, PPK, PPS dan KPPS juga Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten / Kota, Panwascam, PPL / PPD dan PTPS). Berapa pula banyaknya logistik Pemilu dari mulai surat suara, kotak suara, bilik suara dan lain-lain. Berapa rupiah pula anggaran yang perlu disediakan.
Luar biasa. Tetapi Pemilu yang terbesar ini pula turut digaduhkan oleh kegiatan survey yang satu sama lain terkadang berbeda. Maka kita pun mengenal istilah Exit Poll, Quick Count dan Real Count.
Pemilu terbesar namun miris dengan berjatuhannya korban-korban, baik Ketua maupun Anggota KPPS karena faktor sakit, kelelahan dan stress. Mengapa hal ini terjadi, ini yang perlu kita evaluasi bersama. Apakah karena syarat-syarat menjadi KPPS yang salah? Syaratnya dibatasi tidak boleh 2 periode Pemilu, padahal meskipun sumberdaya manusia banyak dan berlimpah tetapi belum tentu ada yang mau dan mampu.Â
Meskipun ambang batas usia minimal pun sudah diturunkan menjadi 17 tahun, namun tetap saja tidak cukup mendukung, sebab usia sekian itu pada masa-masa Pemilu adalah masa-masa mereka mengikuti Ujian Tengah Semester atau Ujian Akhir Sekolah sehingga mereka tentu banyak yang keberatan.
Ataukah yang salah sistem seleksi, terutama menyangkut kesehatan jasmani dan rohani. Hal ini tentu saja jauh berbeda jika dibandingkan dengan seleksi bagi PPK dan PPS dan sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten / Kota
Jika persyaratan dan pemeriksaan kesehatan sudah mengindikasikan, bahwa calon penyelenggara Pemilu tidak sehat karena mengidap suatu penyakit tertentu, seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), stroke, jantung, diabetes mellitus dan lain-lain, maka semestinya ditolak untuk menjadi penyelenggara Pemilu.
Bayangkan apa yang terjadi manakala pekerjaan di TPS itu dimulai dan dilaksanakan. Kita dihadapkan pada jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) maksimal 300 orang per TPS. Belum lagi jika ada yang masuk dalam Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) dan Daftar Pemilih Khusus (DPK).
Anggap saja masing-masing mendapatkan 5 surat suara artinya akan ada setidaknya 1500 surat suara yang akan dilihat pilihannya, sah atau tidak sah, kemudian ditulis pada kertas Form Model C1 Plano lalu dipindahtuliskan pada Form Model C1 Berita Acara serta C1 berhologram dan Form Model Sertifikat Berita Acara. Belum lagi formulir-formulir lainnya, termasuk yang nanti akan diberikan pada para saksi partai politik dan PTPS.
Rumit dan membuat stress bagi KPPS. Bayangkan pemungutan suara saja mulai pukul 07.00 sampai dengan 13.00 WIB. Kemudian penghitungan suara mulai pukul 13.00 sampai dengan selesai. Tak tentu dan tak sama waktu selesainya karena tergantung jumlah pemilih di TPS, ketersediaan surat suara, jumlah saksi di TPS, kesalahan membaca, kesalahan menulis dan kesalahan menghitung.Â