Sore itu Sabtu, 28 Desember 2021 tanpa sengaja penulis mendengar percakapan 3 perempuan desa paruh baya yg memperbincangkan sepinya pekerjaan sebagai buruh tanam dikampungnya. Mami, Ita dan Suratin, warga sebuah kampung di Kecamatan Seputuh Raman Kabupaten Lampung Tengah Propinsi Lampung, Â ketiganya sama2 bertemu di sebuah warung yg menjual berbagai kebutuhan dapur mulai dari beras sampai ikan asin.Tak ketinggalan berbagai sayuran mulai dari kacang panjang, terong, kangkung dan cabe juga dijual disitu.
Asyik ketiganya berdiri dipinggir jalan mau masuk ke warung kelontong tersebut hingga tak menyadari keberadaan penulis yg sejak tadi duduk di ayunan anak-anak dibawah pohon rambutan seberang jalan kecil itu. Mami mengatakan, "bagaimana kita ini bisa dapat uang jika para petani didesa ini menggunakan mesin untuk menanam padi". Habislah riwayat "tukang tandur" kalo caranya begini. Ita yg dari tadi agak gusar nyeletuk "bagaimana tidak membengkak catatan hutang diwarung jika tiap hari belanja sayuran dan cabe ngebon dulu. Malu rasanya, tapi jika tidak hutang tak bisa masak". Agak sayup-sayup terakhir Suratin mulai ngomong, "ya mau gimana lagi, Â wong para suami kita juga tidak punya pekerjaan lain selain bertani, tak punya ketrampilan buat apa gitu yg bisa dijual dipasar. Jadi hidup mati kita sangat tergantung dari pertanian ini".
Tiba-tiba Pak Misdi sang pemilik warung melintas keluar dan melihat ketiga langganan tetapnya datang hendak belanja. Ayo lo cepat sini, itu kacang dan terong masih segar baru dateng kulakannya, sapa pak Misdi dengan akrab. Ketiganya bergegas masuk warung dan berbelanja, meski tak membawa uang. Beruntung pak Misdi sang pemilik warung selalu membolehkan hutang terbih dahulu asal setiap minggu dibayar.
Dari perbincangan ketiga perempuan desa di Kabupaten Lampung Tengah itu, menggambarkan bahwa kehidupan pedesaan meski sudah terjadi reformasi politik, sosial, dan ekonomi sekalipun, saat ini masih saja terjadi kemiskinan yang membelenggu rakyatnya, terlebih kaum perempuan. Mulai dari tergusurnya pekerjaan perempuan desa, tidak adanya ketrampilan yg dimiliki selain bertani, dan banyaknya hutang untuk kegiatan konsumsi, sebab sayuran dan cabe sekalipun harus didapatkan dengan cara membeli diwarung.
Desa dan Kemiskinan
Berbicara soal desa atau pedesaan itu memang identik dengan kemiskinan. Kondisi ini tidak hanya terjadi saat ini, tetapi sudah berurat dan berakar dalam struktur masyarakat di pedesaan. Bahkan dalam Refleksi Tahunan Sekretariat Bina Desa Jakarta (2016) menyatakan, penyebab kemiskinan pedesaan di Indonesia adalah, pertama struktur agraris yang timpang dengan ditandai adanya ketidak seimbangan dalam kepemilikan lahan. Rata-rata petani miskin dipedesaan tidak miliki lahan garapan. Jikapun ada hanya sekitar 0,5 hektar dalam satu keluarga. Sehingga diolah dengan cara apapun hasil pertanian berlahan sempit ini selama masih menggunakan pendekatan pertanian konvensional tentu tidak akan mampu meningkatkan pendapatan kaum tani.
Kedua, hilangnya kearifan lokal dalam proses produksi pertanian dan berganti dengan mekanisasi. Sejak tahun 1971 disaat pemerintah Orde Baru menggalakkan program Revolusi Hijau, maka model pertanian mengalami perubahan secara drastis. Jika dahulu petani itu nggarap sawah memakai pupuk kandang, membajak sawah/ladang menggunakan ternak, Â dan menggunakan tenaga kerja manusia, termasuk tenaga kerja perempuan untuk semua proses produksi. Kini dengan masuknya alsintan (alat mesin pertanian) pasti memberangus semua itu. Pertanian sudah tidak ramah dengan alam dan lingkungan karena berganti mesin dan menggunakan asupan kimiawi yg sangat mahal untuk ongkos produksi. Hal inilah yg turut memicu adanya budaya instan dan konsumtif dikalangan petani.
Ketiga, umumnya petani tidak memiliki ketrampilan lain selain bertani. Persoalan lemahnya kapasitas SDM petani sudah lama terjadi, sebab petani tua ini tingkat pendidikannya antara tidak tamat SD sampai tamat SD. Â Sementara anak-anak mereka yg rata-rata mengenyam pendidikan sampai SMA enggan terjun dibidang pertanian. Mereka lebih senang bekerja di pabrik dan merantau keluar daerah. Karena mereka berpendapat didesa minim mendapatkan penghasilan.
Menurut penulis ketiga faktot penyebab kemiskinan yg merupakan temuan lapangan Sekretariat Bina Desa tersebut, benar adanya. Setidaknya cerita ketiga perempuan diatas turut menjadi bukti kebenaran ini.
Sulit bagi penulis untuk bisa menjelaskan persoalan diatas. Hanya saja penulis pernah diajak menamani para petani dalam rembuk bersama di sebuah kampung di Lampung Tengah beberapa waktu lalu. Berikut adalah fakta umum yg penulis dapatkan dilapangan.
1. Pilihannya monokultur (padi atau jagung) dalam sebuah hamparan. Kalau musim hujan (rendeng) tanam padi, jika panas tanam jagung. Â
2. Menanam jenis Holtikultura menurut petani penuh resiko dan tidak biasa menanam jenis holtokultura.
3. Optimalisasi lahan pekarangan tidak ada. Banyak lahan pekarangan dibiarkan kosong, alasannya ribet dan tidak telaten. Maka tidak heran jika umumnya kaum perempuan dikampung sayuranpun beli.