Mohon tunggu...
AHMAD WILDAN SYARIFULLAH
AHMAD WILDAN SYARIFULLAH Mohon Tunggu... Aktor - Mahasiswa S-1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga

Mahasiswa pegiat kajian filsafat dan isu keuangan -a Stoic

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Solusi Hukum Internasional atas Konflik Indonesia-Malaysia dalam Sengketa Blok Ambalat

28 November 2024   20:08 Diperbarui: 29 November 2024   08:48 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara kepulauan (Archipelago state), hal ini berdasar pada pasal 46 Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, yang secara eksplisit menyatakan bahwa istiah "kepulauan" merujuk pada sebuah gugusan pulau, di mana yang termasuk bagian pulau tersebut adalah perairan di antara pulau-pulau tersebut yang merupakan kesatuan geografis, ekonomi, dan politik yang hakiki (Starke, 2000). Sebagai negara kepulauan, Indonesia mempunyai batas wilayah laut yang diatur dalam UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982 yang pada kelanjutannya diratifikasi oleh pemerintah Indonesia menjadi Undang-Undang No. 17 tahun 1985. Indonesia terdiri dari sekitar 17.508 pulau, di mana dari pulau-pulau tersebut, adalah beberapa pulau yang terletak di posisi terluar dan berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga. Berangkat dari survei yang dilakukan oleh DISHIDROS TNI AL untuk menetapkan garis perbatasan wilayah dengan negara-negara tetangga, ada setidaknya 183 titik dasar yang tersebar dalam 92 pulau terluar.

Pada dasarnya, adanya kepulauan merupakan suatu potensi besar Sumber Daya Alam bagi negara. Salah satu contoh potensi tersebut adalah Ambalat. Ambalat sendiri merupakan blok laut yang memiliki luas sekitar 15.235 Km2 dan terletak persis di Selat Makassar atau Laut Sulawesi. Wilayah ini merupakan kepunyaan Indonesia, dengan dalil yaitu Perjanjian Tapal Batas Kontinen Indonesia-Malaysia pada 27 Oktober 1969 di Kuala Lumpur. Akan tetapi, pada bulan Desember tahun 1979, Malaysia secara unilateral membuat peta baru yang menggolongkan pulau Batu Puteh, Sipadan, dan Ligitan ke dalam wilayah kedaulatannya (Yusvitasari 2020). Tentunya hal ini menjadi kontroversial dan menuai protes dari berbagai negara, terkhusus Indonesia dan Singapura. Indonesia sendiri melayangkan protes persis pada bulan Februari 1980 mengenai Pulau Ligitan dan Sipadan yang diklaim Malaysia sebagai wilayahnya. Tidak berselang lama, China dan Filipina turut melayangkan Protes mengenai Spartly Island. Tidak berhenti di situ, Singapura pun ikut mengirim protesnya persis pada bulan April 1980 mengenai Pedra Branca alias Pulau Batu Puteh.

Sederhananya, Peta 1979 buatan Malaysia tidak mendapat pengakuan dari negara-negara dan juga dunia internasional. Walaupun demikian, Peta tersebut masih menjadi peta resmi yang tetap berlaku di Malaysia bahkan hingga saat ini. Di sisi lain, Sengketa ini menjadi lebih rumit setelah Mahkamah Internasional (ICJ) yang menetapkan Pulau Ligitan dan Sipadan sebagai milik Malaysia pada 2002. Keputusan ini tentunya merugikan Indonesia, karena akan berimplikasi signifikan terhadap delimitasi batas maritim, yang mana hal ini berujung pada klaim Malaysia atas Blok Ambalat dengan dalil intrepretasi mereka terhadap Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Secara eksplisit, hal ini juga berpengaruh terhadap kedaulatan maritim Indonesia dan juga memengaruhi akses terhadap sumber daya alam seperti Migas yang melimpah di Blok Ambalat tersebut. Dengan begitu, apabila konflik ini tidak diselesaikan secara adil, maka dampaknya yaitu dapat melemahkan posisi Indonesia dalam menjaga integritas dan kedaulatan wilayahnya.

Tinjauan Pustaka

1. Perspektif Hukum Laut Internasional

Disadari atau tidak, konflik perbatasan maritim seringkali disebabkan oleh perbedaan interpretasi terhadap prinsip-prinsip hukum internasional. Misalnya dalam konteks sengketa Ambalat, United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 menjadi dasar utama untuk menentukan hak atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen. UNCLOS Pasal 76 dan Pasal 83 mengatur bahwa batas landas kontinen harus ditentukan berdasarkan kesepakatan antarpihak atau melalui prosedur arbitrase apabila terjadi sengketa. Sebagai gambaran dan juga komparasi, Konflik maritim Laut Cina Selatan, di mana klaim yang tumpang tindih dan tindakan unilateral seringkali dipengaruhi oleh peta historis yang tidak sesuai dengan UNCLOS. Schofield dan Bateman (2009) mengemukakan bahwa keberhasilan resolusi konflik maritim sering kali bergantung pada kombinasi dari pendekatan hukum dan diplomasi, seperti delineasi peta secara bersama.

Melalui UNCLOS 1982 yang telah diratifikasi oleh lebih dari 140 negara, negara-negara kepulauan memiliki hak penuh untuk mengelola Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) hingga 200 mil laut di luar wilayah daratannya. Sebagai salah satu negara kepulauan, Indonesia memperoleh hak yurisdiksi atas ZEE ini, yang kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS. Ketetapan ini diatur dengan lebih rinci melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Implementasi undang-undang tersebut memperluas wilayah perairan laut Indonesia hingga sekitar 2,7 juta kilometer persegi, menjadikan total luas perairannya mencapai 5,8 juta kilometer persegi. Perluasan ini memberikan pengaruh yang signifikan terkhusus dalam pengelolaan sumber daya laut.

2. Teori Kedaulatan

Pembentukan sebuah negara memiliki manfaat berupa kemampuan untuk menjalin hubungan dengan negara-negara lain. Hal ini tercantum dalam Konvensi Montevideo (1933), yang dianggap sebagai kemajuan dibandingkan dengan konsep klasik pembentukan negara lainnya. Konsep klasik tersebut hanya memuat tiga elemen utama, yaitu penduduk, wilayah, dan pemerintahan. Namun, ketiga elemen ini saja tidak cukup untuk menjadikan suatu entitas sebagai negara yang independen dan berdaulat. Oleh sebab itu, Konvensi Montevideo menambahkan elemen kapasitas untuk menjalin hubungan internasional sebagai syarat keempat. Seiring perkembangan pesat dalam hubungan antarnegara, ketentuan Konvensi Montevideo yang menekankan kapasitas tersebut dianggap sudah tidak relevan. Sebagai gantinya, aspek kedaulatan diusulkan menjadi elemen keempat dalam pembentukan negara. Kedaulatan ini memiliki arti yang lebih luas dan peran yang sangat penting dalam mencerminkan kemampuan negara untuk bertindak secara independen di tengah dinamika internasional.

Hubungan antar negara didasarkan pada prinsip sovereign equality, yang menjamin kesetaraan kedaulatan sebagai dasar kerja sama internasional. Dalam interaksi mereka, negara-negara dilarang menggunakan kekerasan dan diwajibkan menyelesaikan sengketa secara damai. Suatu negara dapat didirikan dan eksis, namun bukan berarti secara otomatis menunjukkan bahwa negara tersebut memiliki kedaulatan. Secara etimologi, menurut Kamus Merriam Webster, kedaulatan adalah sebuah kekuasaan tertinggi yang terbebas dari kontrol eksternal. Sementara itu, secara terminologi, kedaulatan adalah otoritas tertinggi yang memungkinkan suatu negara secara independen menjalankan berbagai aktivitas dengan tujuan untuk memenuhi kepentingannya, dengan catatan selama aktivitas tersebut tidak melanggar hukum internasional. Dalam hukum internasional, konsep kedaulatan memiliki setidaknya tiga aspek utama yaitu kedaulatan internal, kedaulatan eksternal, dan kedaulatan teritorial. Ketiganya memiliki rincian sebagai berikut:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun