Harapan sebagian besar tenaga honorer katergori II (K2) untuk diangkat menjadi pegawai tetap yang rencananya akan dimulai pada tahun 2016 belum dapat terpenuhi akibat kembali ditetapkannya moratorium CPNS oleh Menteri PAN dan RB.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB), Yuddy Chrisnandi (20/1) mengatakan, pihaknya belum bisa atau membatalkan untuk mengangkat pegawai honorer ketegori II (K2) menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) pada tahun ini. Pembatalan tersebut karena DPR RI tidak mengalokasikan anggaran pada APBN 2016.
Perlu diketahui bahwa pada dasarnya, DPR tidak mengalokasikan anggaran untuk pengangkatan honorer K2 karena kondisi kemampuan keuangan negara pada tahun ini sedang terpuruk, ditambah dengan beban anggaran belanja pegawai juga yang cukup besar, sehingga tidak cukup untuk membiayai honorer K2 menjadi CPNS.
Pada tahun 2015, penerimaan pajak hanya mencapai 85% dari target atau kurang sekitar Rp250 triliun dan kondisi anggaran negara telah terbebani sehingga apabila seluruh tenaga kerja honorer K2 diangkat secara otomatis menjadi CPNS dikhawatirkan beban anggaran akan semakin berat, karena dalam proses pengangkatan membutuhkan biaya yang cukup tinggi.
Selain itu, tidak adanya payung hukum terkait penanganan tenaga honorer K2, mengakibatkan pengangkatan menjadi semakin terkendala. Sementara undang-undang terkait aparatur sipil negara (ASN) menjelaskan bahwa tidak memungkinkan adanya pengangkatan CPNS secara otomatis, sehingga tenaga honorer K2 tidak bisa diangkat tanpa melalui seleksi administrasi, disiplin, integritas, kesehatan dan kompetensi sebagaimana terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon PNS Pasal 4 ayat (1).
Di sisi lain, Ketua Umum Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I) Tuti Purwaningsih (31/1) mengatakan bahwa pada dasarnya saat ini tanggung jawab tenaga kerja honorer K2 ada di tangan presiden sehingga secara otomatis presiden harus membuat regulasi pengangkatan CPNS dari tenaga honorer K2. Oleh karena itu, nantinya pihaknya akan meminta langsung kepada presiden Joko Widodo.
Seperti diketahui, pada dasarnya kehadiran honorer bisa menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan pegawai saat ini. Namun, terhambatnya pengangkatan honorer K2 tidak hanya pada regulasi yang belum dibuat, tetapi pada pelaksanaan verifikasi faktual kepada seluruh data honorer yang masuk K2 hingga 31 Desember 2005, karena data CPNS K2 di Kemenpan RB saat ini banyak yang tidak valid, sehingga moratorium kembali dilakukan agar pemerintah daerah tidak melakukan penerimaan sebelum data Kemenpan RB valid.
Sementara itu, Ketua Komisi II DPR, Rambe Kamarul (20/1) mengatakan bahwa keputusan Mentri PAN dan RB terkait pembatalan pengangkatan honorer K2 menjadi CPNS merupakan keputusan yang belum final dan hal tersebut masih akan dibahas kembali bersama pemerintah mengenai penanganan honorer K2.
Oleh karena itu, saat ini Kemenpan RB bersama Komisi II DPR masih akan membuka kesempatan untuk membahasnya kembali permasalah tenaga kerja honorer K2. Namun, perlu diperhatikan bahwa kementerian terkait harus meyakinkan presiden untuk mengeluarkan diskresi dengan tetap melihat batas toleransi agar tidak merugikan masyarakat.
Dengan demikian, untuk saat ini honorer K2 akan diserahkan kepada pejabat pembina kepegawaian (PPK), dalam hal ini gubernur dan bupati atau wali kota bagi honorer di pemda dan di setiap daerah dipersilakan membuat peta kebutuhan pegawainya serta mengambil kebijakan sendiri. Sementara itu, bagi honorer K2 yang berusia di bawah 35 tahun dan memiliki kompetensi bisa mengikuti tes CPNS lewat jalur umum, sedangkan yang berusia di atas 35 tahun bisa ikut seleksi penerimaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria (13/1) mengatakan bahwa pihaknya menyarankan kepada para tenaga honorer K2 agar jangan hanya menuntut untuk diangkat menjadi CPNS tanpa melalui proses tes. Karena dengan begitu, tenaga honorer yang tidak lolos seleksi dapat berkompetisi secara terbuka lewat formasi umum.
Oleh karena itu, dengan adanya moratorium atau rasionalisasi jumlah pegawai di birokrasi umum merupakan langkah efisiensi penggunaan anggaran. Efisiensi di sektor belanja pegawai juga diharapkan dapat memperbesar dukungan pada peningkatan kualitas layanan publik serta menjadi salah satu upaya untuk membuka peluang distribusi PNS ke seluruh Indonesia dengan tetap memerhatikan besaran tunjangan yang diberikan PNS di berbagai instansi atau wilayah kerja yang berbeda-beda agar tidak terjadi kesenjangan.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H