Mohon tunggu...
ahmad10
ahmad10 Mohon Tunggu... Swasta -

Politics Watcher I Post Grad Student of IR I Soccer Fan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konsolidasi Demokrasi di Indonesia : Peluang dan Tantangan

18 Januari 2016   17:19 Diperbarui: 18 Januari 2016   18:49 1006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

gambar: berita9.com

Dewasa ini perkembangan demokrasi global ditandai oleh dua fenomena yang cukup menarik dan menyita perhatian masyarakat dunia. Pertama, terjadinya gelombang besar demokratisasi yang melanda sejumlah negara yang sebelumnya dikenal tidak bersahabat atau bahkan resisten terhadap ide-ide demokrasi, misalnya negara-negara Timur Tengah. Tumbangnya rejim-rejim otoriter di Tunisia, Mesir, Yaman, dan Libya merefleksikan kecenderungan global yang kuat untuk menerimad emokrasi sebagai pilihan politik dan pemerintahan yang sah. Fenomena ini dikenal dengan The Arab Spring.

Kedua, terjadinya kemerosotan kualitas demokrasi di negara-negara yang justru telah mempraktikkan demokratisasi sebagai sitem di negaranya. Hal ini dapat dilihat dari laporan Democrazy Index 2010 oleh The Economic Intelligent Unit, 2010 dan Freedon in the World Index yang dipublikasikan oleh Freedom House tahun 2010, menyimpulkan bahwa telah terjadi kemunduran demokrasi di dunia sejak tahun 2008.

Kecenderungan kedua ini membawa para ahli kepada kesimpulan bahwa telah terjadi resesi demokrasi (democratic recession) atau penurunan kualitas demokrasi (democratic decline).

Penurunan kualitas demokrasi tersebut merupakan konsekuensi dari lambatnya konsolidasi, baik dari sisi pemantapan kapasitas institusi demokrasi maupun kematangan budaya politik, sehingga demokrasi tidak membawa kepada janji-janji demokrasi itu sendiri. Kondisi ini disebut oleh Alberto Olvera sebagai elusice democracy ketika menggambarkan karakteristik demokrasi di Meksiko. Pengamat transisi demokrasi dari the European University Institute di Florence, Italy, menemukan bahwa transisi demokrasi lebih mudah terjadi dari yang ia bayangkan, namun demokrasi yang kemudian dicapai tidak segera terkonsolidasi menjadi demokrasi yang berkualitas dan menghadirkan kesejahteraan bagi warga negara. Kondisi seperti ini menandakan bahwa semangat menggebu yang melahirkan demokrasi ternyata tidak cukup untuk melahirkan demokrasi yang berkualitas.

Wacana Terkini Demokrasi Indonesia

Kondisi demokrasi di Indonesia tidak jauh berbeda dengan gambaran kondisi demokrasi global di atas. Reformasi yang telah berusia lebih dari 17 tahun pada praktikya belum mampu melahirkan kultur demokrasi yang berkualitas. Pelaksanaan demokratisasi di Indonesia terus mendapatkan sorotan dari akademisi maupun praktisi pembangunan. Muncul pertanyaan bahwa apakah demokrasi merupakan system yang paling cocok bagi kondisi masyarakat Indonesia yang multikultural? Atau apa yang salah dalam penerapan demokrasi tersebut sehingga belum mampu mengantarkan warga negaranya kepada kesejahteraan sebagaimana yang “dijanjikan” oleh demokrasi itu sendiri.

Menurut laporan Freedom House yang melakukan evaluasi tahunan mengenai kemajuan dan kemunduran kebebasan di 195 negara sejak tahun 2006 memasukkan Indonesia kedalam kelompok negara yang “bebas secara penuh”. Predikat ini menempatkan Indonesia sejajar dengan negara-negara demokrasi maju seperti Amerika Serikat, Inggris, jepang, Korea dan lain-lain. Namun di sisi lain, majalah The Economist, yang mengeluarkan demokrasi indeks setiap tahun, pada tahun 2012 menempatkan Indonesia pada peringkat 53 yang berarti Indonesia masuk dalam kelompok “flawed democracy”, jauh di bawah negara yang masuk kedalam “full democracy” (peringkat 1 - 20).

Terlepas dari masih sangat makronya hasil kajian lembaga-lembaga internasional tersebut terhadap kondisi demokrasi di Indonesia, setidaknya memberikan gambaran dan penilaian terhadap tingakt demokrasi di suatu negara termasuk Indonesia yang barangkali bisa menjadi acuan umum bagimasuknya investor asing. Namun dari sisi dinamika demokrasi di tingkat sub-nasional, hasil kajian di atas tidak bercerita apa-apa dan oleh karenanya tidak relevan untuk dijadikan sebagai petunjuk arah kebijakan dan pengembangan demokrasi di tingkat daerah.

Konsolidasi demokrasi sebagai salah satu indikator menuju demokrasi yang sukses dalam konteks Indonesia dapat diartikan sebagai upaya untuk mengamankan dan mempertahankan demokrasi, memperluas substansi dan napas demokrasi supaya berumur panjang. Mengutip pernyataan Mantan Menkopolhukam, Djoko Suyanto, setidaknya ada dua syarat penting terkonsolidsasinya demokrasi, yakni pertama, jaminan terselenggaranya pranata-pranata politik dalam prinsip dan norma demokratis. Kedua, dikokohkannya sistem nilai publik untuk mengukur serta mengevaluasi proses sirkulasi elit, agar berjalan secara demokratis dengan hasil akhir yang baik bagi demokrasi.

Sementara itu, menurut Direktur United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia, Beate Trankmann, dalam konteks pemerintahan saat ini, Indonesia di bawah pemerintahan Joko Widodo-Jusuk Kalla dihadapkan pada dua tantangan, yakni : pertama, perlunya perbaikan kinerja lembaga-lembaga demokrasi seperti partai politik dan DPRD. Kedua lembaga ini menjadi sorotan karena selalu masuk kedalam kategori buruk dalam Indeks demokrasi Indonesia selama lima tahun terakhir. Kedua, penguatan nilai-nilai keadaban masyarakat (civil virtues) dan pemilih. Aspek ini terutama berkaitan dengan perilaku kekerasan dalam mengekspresikan pendapat dan mengatasi perbedaan-perbedaan politik.

Sebagai negara dengan tingkat keragaman yang tinggi, baik dari segi agama, budaya, keragaman pertumbuhan ekonomi, penegakan hokum maupun konflik antar komunal, Indonesia dihadapkan berbagai tantangan menuju demokrasi yang berkualitas dan berkultur, bukan sekedar demokrasi prosedural. Untuk itu, menurut penulis, diperlukan suatu kesepahaman nasional khususnya terkait penerapan demokrasi secara penuh dan menyeluruh dalam aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Setelah itu, perbaikan kinerja dan kualitas berbagai lembaga super struktur pemerintahan mutlak dilakukan terutama pada lembaga-lembaga demokrasi seperti Parpol dan DPRD. Parpol adalah “pabrik” atau produsen pemimpin lembaga strategis nasional termasuk presiden, sementara DPRD merupakan lembaga perumus regulasi dan UU. Last but not least, pemerintah perlu melakukan percepatan transisi demokrasi dari flawed democracy menuju full democracy, melalui optimalisasi penerpan program Nawacita yang salah satu focus utamanya adalah penguatan identitas nasional.

 

******

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun