Mengatasi Kepuasan Diri untuk Meningkatkan Talenta Muda dalam Menyongsong Era Bonus Demografi 2030
Oleh: Ahmad Rusdiana
Indonesia akan segera menyongsong era bonus demografi pada tahun 2030, di mana jumlah penduduk usia produktif akan mencapai puncaknya. Momen ini merupakan peluang emas bagi Indonesia untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial. Namun, untuk memanfaatkan peluang ini, diperlukan upaya maksimal dalam pengembangan talenta muda.Â
Salah satu tantangan utama yang perlu diatasi adalah perilaku 'toxic' complacency atau kepuasan diri di kalangan senior, guru dan pemimpin lembaga pendidikan. Kepuasan diri yang berlebihan dapat menghambat inovasi dan perkembangan metode pengajaran yang relevan dengan kebutuhan zaman. Artikel ini akan membahas tiga aspek penting dari hukum toxic complacency menurut Glas (1995) dan implikasinya terhadap peningkatan talenta muda di Indonesia. Yu kita di breakdown satu persatu: Â
Pertama: Kepuasan Diri dan Stagnasi Inovasi Pendidikan; Glas (1995) menekankan bahwa kepuasan diri sering kali menjadi penghalang utama dalam inovasi pendidikan. Ketika guru merasa puas dengan metode pengajaran yang ada, mereka cenderung mengabaikan kebutuhan untuk terus memperbarui pengetahuan dan keterampilan mereka.Â
Dalam konteks Indonesia yang akan menghadapi bonus demografi, stagnasi inovasi ini dapat menjadi bencana. Siswa membutuhkan metode pengajaran yang dinamis dan sesuai dengan perkembangan teknologi dan pasar kerja global. Oleh karena itu, penting bagi guru dan pemimpin pendidikan untuk terus berinovasi dan mengadopsi pendekatan baru dalam pengajaran.
Kedua: Dampak Kepuasan Diri terhadap Motivasi yang muda/siswa; Kepuasan diri tidak hanya menghambat inovasi, tetapi juga dapat merusak motivasi siswa. Glas (1995) menyebutkan bahwa ketika guru tidak berusaha mendorong batasan mereka sendiri, mereka juga cenderung tidak mendorong siswa untuk mencapai potensi maksimal mereka.Â
Di era bonus demografi, Indonesia memerlukan generasi muda yang termotivasi untuk mencapai prestasi tinggi dan bersaing di tingkat global. Guru harus berperan sebagai pendorong semangat, memberikan tantangan yang relevan, dan memotivasi siswa untuk selalu berusaha lebih baik.
Ketiga: Membangun Budaya Pembelajaran Berkelanjutan; Menurut Glas (1995), untuk mengatasi kepuasan diri, perlu dibangun budaya pembelajaran berkelanjutan di lingkungan pendidikan. Ini berarti menciptakan ekosistem di mana guru dan siswa sama-sama berkomitmen untuk terus belajar dan berkembang.
Dalam konteks bonus demografi, budaya ini sangat penting untuk memastikan bahwa talenta muda selalu siap menghadapi perubahan dan tantangan. Pemerintah dan lembaga pendidikan di Indonesia harus mendorong pelatihan terus-menerus bagi guru, pembaruan kurikulum yang berkala, serta partisipasi aktif siswa dalam kegiatan belajar yang inovatif.
Singkatnya, menghadapi era bonus demografi 2030, Indonesia memiliki peluang besar untuk memajukan pembangunan ekonomi dan sosial melalui pengembangan talenta muda. Namun, perilaku 'toxic' complacency atau kepuasan diri di kalangan senior, guru dan pemimpin lembaga pendidikan dapat menjadi penghambat utama.Â
Dengan mengatasi stagnasi inovasi pendidikan, meningkatkan motivasi siswa/muda, dan membangun budaya pembelajaran berkelanjutan, Indonesia dapat memastikan bahwa generasi mudanya siap untuk mengambil manfaat maksimal dari bonus demografi ini. Semua pemangku kepentingan dalam pendidikan harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pembelajaran terus-menerus dan perkembangan yang dinamis. Wallahu A'lam.
Perilaku 'toxic' complacency atau kepuasan diri di kalangan senior, guru dan pemimpin lembaga pendidikan dapat menjadi penghambat utama Pembagunan yang muda bertalenta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H