Mohon tunggu...
Ahmad Rusdiana
Ahmad Rusdiana Mohon Tunggu... Penulis - Praktisi Pendidikan, Peneliti, Pengabdian Kepada Masyarakat-Pendiri Pembina Yayasan Pendidikan Al-Misbah Cipadung Bandung- Pendiri Pembina Yayasan Tresna Bhakti Cinyasag-Panawangan-Ciamis Jawa Barat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Membaca dan Menulis Dengan Moto Belajar dan Mengabdi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membangun Budaya Peduli untuk Peningkatan Talenta Muda di Era Bonus Demografi 2030

26 Mei 2024   19:51 Diperbarui: 26 Mei 2024   20:26 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: IG dearmoms.id. 

Membangun Budaya Peduli untuk Peningkatan Talenta Muda di Era Bonus Demografi 2030

Oleh: Ahmad Rusdiana

Indonesia sedang bersiap menghadapi era bonus demografi pada tahun 2030, di mana proporsi penduduk usia produktif akan mencapai puncaknya. Momen ini merupakan peluang emas bagi Indonesia untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan sosial. Namun, pencapaian potensi maksimal dari bonus demografi ini sangat tergantung pada kualitas pendidikan dan pengembangan talenta muda. 

Salah satu tantangan utama dalam pendidikan adalah perilaku 'toxic' ketidakpedulian (indifference) di kalangan pendidik dan pemimpin lembaga pendidikan. Ketidakpedulian ini dapat menghambat perkembangan siswa dan menghalangi mereka untuk mencapai potensi penuh. Artikel ini akan membahas tiga konten dari Hukum Toxic Indifference Glas 1995 dan bagaimana mereka dapat diatasi untuk meningkatkan talenta muda di Indonesia. Yu Kita breakdown satu persatu:

Pertama: Kurangnya Perhatian terhadap Perkembangan Individual, Glas (1995) menyatakan bahwa ketidakpedulian terhadap perkembangan individual siswa merupakan salah satu bentuk perilaku 'toxic'. 

Di lingkungan pendidikan, kurangnya perhatian ini sering kali terlihat ketika pendidik tidak mengenali atau memahami kebutuhan unik masing-masing siswa. Akibatnya, siswa yang membutuhkan bimbingan khusus tidak mendapatkan dukungan yang diperlukan, yang bisa menyebabkan penurunan motivasi dan prestasi akademik.

Solusinya: Untuk mengatasi masalah ini, lembaga pendidikan harus mendorong budaya empati dan kepedulian. Seseorang perlu dilatih dalam keterampilan mentoring dan pengenalan kebutuhan individu lainnya. 

Melalui pendekatan personal ini, siswa akan merasa dihargai dan termotivasi untuk belajar lebih giat. Selain itu, implementasi sistem monitoring dan evaluasi perkembangan siswa secara berkala dapat membantu mengidentifikasi kebutuhan khusus dan memberikan intervensi yang tepat.

Kedua: Tidak Adanya Kebijakan yang Mendorong Keterlibatan Aktif; Menurut Glas, ketidakpedulian juga tercermin dalam tidak adanya kebijakan yang mendorong keterlibatan aktif guru dalam perkembangan seseseorang koleha/teman/sisawa. Tanpa adanya kebijakan yang jelas, seseorang/guru/senior mungkin merasa tidak berkewajiban untuk terlibat lebih jauh selain tugas mengajar. Hal ini menciptakan lingkungan pendidikan yang pasif dan tidak kondusif bagi pengembangan talenta muda.

Solusinya: Institusi pendidikan perlu mengimplementasikan kebijakan yang mendorong keterlibatan aktif guru. Misalnya, kebijakan untuk mengadakan sesi bimbingan dan konseling secara rutin, kegiatan ekstrakurikuler yang melibatkan guru sebagai pembimbing, serta penghargaan bagi guru yang menunjukkan dedikasi tinggi terhadap perkembangan siswa. Kebijakan ini tidak hanya akan meningkatkan keterlibatan guru tetapi juga akan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih dinamis dan mendukung.

Ketiga:  Minimnya Fasilitas untuk Pengembangan Keterampilan dan Potensi Muda; Ketidakpedulian juga dapat terwujud dalam bentuk minimnya fasilitas dan program yang ditujukan untuk pengembangan keterampilan dan potensi siswa. Glas menekankan bahwa tanpa dukungan fasilitas yang memadai, siswa akan kesulitan untuk mengembangkan keterampilan mereka, terutama dalam bidang non-akademis yang juga penting untuk masa depan mereka.

Solusinya: Pemerintah dan lembaga pendidikan harus berinvestasi dalam penyediaan fasilitas yang mendukung pengembangan keterampilan. Ini termasuk laboratorium sains yang lengkap, ruang praktik seni dan musik, fasilitas olahraga, serta pusat teknologi dan inovasi. Selain itu, program pengembangan keterampilan seperti workshop, seminar, dan kompetisi dapat memberikan pengalaman praktis dan memperluas wawasan siswa. Dengan dukungan fasilitas yang memadai, siswa dapat mengeksplorasi minat dan bakat mereka secara lebih optimal.

Singkatnya, menghadapi era bonus demografi 2030, Indonesia perlu mengatasi tantangan ketidakpedulian dalam pendidikan untuk memastikan pengembangan talenta muda yang optimal. 

Dengan membangun budaya peduli dan empati, mengimplementasikan kebijakan yang mendorong keterlibatan aktif guru, serta menyediakan fasilitas yang memadai, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan siswa. Dengan demikian, generasi muda Indonesia dapat mencapai potensi maksimal mereka dan berkontribusi secara signifikan terhadap pembangunan bangsa di masa depan. Wallahu A'lam.

Dengan membangun budaya peduli dan empati, mengimplementasikan kebijakan yang mendorong keterlibatan aktif semua pihak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun