Pendahuluan
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan yang telah berabad-abad berdiri memiliki peran yang sangat penting dalam mencetak generasi penerus yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga memiliki akhlak dan karakter yang mulia. Sejak awal didirikan, pesantren dikenal sebagai tempat untuk mendalami ilmu agama dan membangun moralitas yang tinggi di kalangan santri. Harapan orang tua yang menitipkan anak-anak mereka di pondok pesantren adalah agar mereka tumbuh menjadi individu yang baik, berakhlak, dan memiliki etika serta sopan santun yang tinggi.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena yang memprihatinkan di kalangan santri, yaitu penggunaan bahasa yang tidak pantas, bahkan mengandung kata-kata kasar yang merendahkan orang lain. Hal ini tentu menjadi tanda tanya besar tentang seberapa maksimal pondok pesantren dalam menjalankan tugasnya dalam pendidikan karakter. Banyak orang tua dan masyarakat berharap bahwa pesantren dapat menjadikan anak-anak mereka lebih baik, tetapi kenyataan yang ada menunjukkan bahwa tidak semua santri berhasil mencapai harapan tersebut. Fenomena santri yang berbicara kotor ini mengindikasikan adanya celah dalam proses pendidikan karakter di lingkungan pesantren, yang seharusnya menjadi benteng moral dan etika.
Untuk memahami fenomena ini lebih dalam, perlu dilakukan analisis terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan karakter santri di pesantren. Aspek lingkungan, metode pengajaran, dan interaksi sosial antar santri dapat menjadi kunci untuk mengetahui penyebab munculnya perilaku yang tidak diharapkan ini. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji kembali pendekatan pendidikan yang diterapkan di pesantren agar dapat memberikan kontribusi yang lebih efektif dalam membentuk generasi yang berakhlak mulia dan mampu menghadapi tantangan zaman dengan baik.
Mengapa Fenomena Ini Bisa Terjadi?
Beberapa faktor yang mungkin menjadi penyebabnya antara lain:
1. Pengaruh Lingkungan LuarÂ
Pesatnya perkembangan teknologi dan informasi telah membawa dampak signifikan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di kalangan santri di pondok pesantren. Dengan kemudahan akses internet, santri dapat dengan cepat menjelajahi berbagai konten yang tersedia secara online. Meskipun teknologi memiliki potensi untuk memperkaya pengetahuan dan wawasan, namun di sisi lain, santri juga sangat rentan terhadap paparan konten-konten negatif, seperti video, meme, atau komentar yang menggunakan bahasa kasar dan perilaku tidak sopan.
Paparan yang terus-menerus terhadap bahasa yang tidak pantas ini dapat memengaruhi perilaku santri dalam beberapa cara. Pertama, interaksi di dunia maya sering kali berlangsung tanpa pengawasan, sehingga santri dapat menyerap dan meniru perilaku yang mereka lihat tanpa mempertimbangkan dampaknya. Ketika mereka sering terpapar pada konten yang mengandung unsur kekerasan, kebencian, atau penghinaan, ada kemungkinan mereka akan menginternalisasi norma-norma tersebut, sehingga perilaku negatif tersebut menjadi bagian dari cara mereka berkomunikasi.
Kedua, adanya norma sosial di dunia maya yang cenderung meremehkan perilaku sopan santun dapat memperkuat perilaku kasar di kalangan santri. Di lingkungan online, bahasa yang kasar sering kali dianggap lucu atau menghibur, dan ini dapat menimbulkan anggapan bahwa penggunaan bahasa tersebut adalah hal yang wajar. Akibatnya, santri mungkin merasa tidak ada yang salah dengan berbicara atau bertindak kasar, karena mereka melihat rekan-rekan mereka di dunia maya melakukan hal yang sama.
Ketiga, kurangnya pendampingan dan edukasi mengenai penggunaan teknologi yang bijak dapat memperburuk situasi ini. Jika pesantren tidak memberikan pemahaman yang memadai tentang dampak negatif dari konten yang diakses, santri mungkin tidak menyadari bahwa paparan tersebut dapat mempengaruhi sikap dan perilaku mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif untuk mendidik santri mengenai literasi digital, termasuk cara menyaring informasi dan memahami dampak dari apa yang mereka konsumsi secara online.