Fluktuasi emosi yang dialami remaja juga dapat membuat mereka lebih rentan terhadap pengaruh negatif. Stres, kecemasan, atau ketidakpuasan dengan diri sendiri dapat mendorong remaja untuk mencari pelarian, dan terkadang pelarian tersebut datang melalui perilaku yang kurang pantas. Bahasa kasar bisa menjadi salah satu cara untuk mengekspresikan emosi yang terpendam atau rasa frustrasi yang mereka alami.
Selain itu, penting untuk dicatat bahwa lingkungan di sekitar remaja---termasuk media sosial, program televisi, dan konten yang mereka konsumsi---juga memainkan peran besar dalam membentuk perilaku dan cara berkomunikasi mereka. Ketika remaja terpapar pada konten yang menormalisasi bahasa kasar dan perilaku tidak sopan, mereka mungkin menganggapnya sebagai hal yang wajar dan mengikutinya tanpa mempertimbangkan konsekuensinya.
Oleh karena itu, penting bagi pendidik, orang tua, dan pengurus pesantren untuk menyadari dinamika emosional ini dan memberikan pendekatan yang tepat dalam mendidik remaja. Edukasi mengenai dampak dari penggunaan bahasa yang tidak pantas, diskusi terbuka tentang perasaan dan tekanan yang mereka alami, serta penguatan nilai-nilai akhlak yang baik dapat membantu remaja untuk lebih memahami diri mereka dan mengembangkan cara berkomunikasi yang lebih positif. Melalui pendekatan yang suportif, remaja dapat dibimbing untuk menemukan identitas mereka tanpa harus mengorbankan nilai-nilai moral yang penting.
4. Kurangnya Pemahaman tentang Agama
Meskipun pondok pesantren berfokus pada pendidikan agama dan pengembangan akhlak, tidak semua santri mampu memahami secara mendalam nilai-nilai agama yang berkaitan dengan akhlak dan etika. Ada beberapa faktor yang dapat menjelaskan fenomena ini.
a. Metode Pengajaran yang Beragam
Metode pengajaran yang diterapkan di pesantren bisa bervariasi. Beberapa pesantren mungkin lebih menekankan pada hafalan teks dan pembelajaran kognitif, tanpa memberi penekanan yang cukup pada pemahaman praktis dan aplikasi nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Jika santri tidak diajarkan bagaimana menerapkan ajaran agama dalam konteks kehidupan mereka, pemahaman mereka tentang akhlak dan etika dapat menjadi dangkal dan tidak terinternalisasi dengan baik.
b. Kurangnya Pendekatan Kontekstual
Nilai-nilai agama sering kali disampaikan dalam bentuk teori yang terpisah dari konteks kehidupan sehari-hari. Tanpa adanya keterkaitan antara teori dan praktik, santri mungkin kesulitan untuk melihat relevansi nilai-nilai tersebut dalam interaksi sosial mereka. Misalnya, ajaran tentang sopan santun dan penghormatan kepada orang lain mungkin tidak sepenuhnya dipahami jika tidak ada contoh konkret atau diskusi yang menjelaskan bagaimana hal tersebut dapat diterapkan dalam situasi nyata.
c. Pengaruh Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial di luar pesantren juga berperan penting dalam membentuk pemahaman santri tentang akhlak dan etika. Jika santri terpapar pada norma-norma yang berbeda, seperti perilaku teman sebaya yang tidak sesuai dengan ajaran agama, mereka mungkin akan bingung atau terpengaruh untuk mengikuti norma-norma tersebut. Dalam situasi ini, meskipun mereka belajar tentang nilai-nilai agama, pengaruh dari lingkungan sosial dapat mengaburkan pemahaman dan penerapan akhlak yang baik.