Le Guin menyajikan ini sebagai dilema moral klasik yang mencerminkan kritik terhadap utilitarianisme mentah. Di satu sisi, kebahagiaan keseluruhan masyarakat Omelas tampaknya sah dan baik—mayoritas orang hidup bahagia. Namun, kebahagiaan itu dibangun di atas pengorbanan yang tidak adil: penderitaan satu individu yang tidak bersalah.
Pada akhir cerita, beberapa warga Omelas yang mengetahui kebenaran tersebut tidak bisa menerimanya. Setiap malam, beberapa dari mereka memilih untuk meninggalkan Omelas, berjalan menjauh dari kota dalam diam, menolak untuk menjadi bagian dari masyarakat yang kebahagiaannya bergantung pada penderitaan orang lain. Tindakan mereka menggambarkan penolakan terhadap konsep kebahagiaan yang dibangun di atas ketidakadilan dan pengorbanan yang tidak bermoral.
Le Guin mengangkat pertanyaan mendalam tentang keadilan dan utilitarianisme melalui cerita ini: Apakah benar untuk mengorbankan satu orang demi kebahagiaan banyak orang? Apakah kesejahteraan kolektif bisa dibenarkan jika diperoleh dengan cara yang tidak adil dan tidak manusiawi? Bagi warga yang meninggalkan Omelas, jawabannya jelas: mereka tidak bisa hidup dengan kompromi moral semacam itu.
Cerita ini secara simbolis mengkritik utilitarianisme yang mentah, yang mengabaikan hak individu dan keadilan moral demi kebahagiaan agregat. "Orang-orang yang Keluar dari Omelas" menggambarkan bahwa ada batasan moral terhadap prinsip-prinsip yang semata-mata mengejar kesejahteraan mayoritas tanpa menghormati martabat dan hak-hak dasar individu.
Omelas adalah contoh yang sangat kritis terhadap utilitarianisme, khususnya terhadap kelemahan mendasar dalam teori tersebut. Jika utilitarianisme benar, maka Omelas—dengan semua kebahagiaan yang luar biasa yang dinikmati mayoritas penduduknya—seharusnya dianggap sebagai kota yang adil. Menurut logika utilitarianisme mentah, penderitaan satu anak, walaupun tragis, bisa dibenarkan jika itu menghasilkan kebahagiaan yang jauh lebih besar bagi orang lain. Dalam hal ini, Omelas memenuhi kriteria utilitarianisme, karena kesejahteraan total atau kebahagiaan agregat tercapai.
Namun, intuisi moral kita mengatakan hal yang sebaliknya: Omelas tidak adil. Kota tersebut memperoleh kebahagiaan bagi banyak orang dengan mengorbankan hak dasar satu individu yang tidak bersalah. Anak itu dipaksa untuk menderita dalam kondisi yang tidak manusiawi, dan kebahagiaan orang banyak dibangun di atas ketidakadilan yang nyata. Bagi kebanyakan orang, penderitaan satu individu yang tidak bisa memilih nasibnya tidak bisa dibenarkan, betapapun besarnya kebahagiaan yang dihasilkan untuk orang lain. Keadilan menuntut lebih dari sekadar kesejahteraan agregat—keadilan menuntut agar setiap individu diperlakukan dengan adil dan manusiawi, tanpa mengorbankan satu pihak demi pihak lain.
Jika kita melihat Omelas sebagai contoh dari penerapan utilitarianisme, kita menyadari bahwa teori ini mengabaikan aspek penting dari keadilan, yaitu perlakuan yang adil terhadap setiap individu. Utilitarianisme gagal memperhitungkan hak-hak individu, khususnya hak untuk tidak diperlakukan sebagai alat untuk mencapai kebahagiaan orang lain. Dalam contoh ini, Omelas jelas tidak adil, meskipun kebahagiaan mayoritas tercapai.
Oleh karena itu, cerita Omelas menunjukkan kelemahan serius dalam utilitarianisme. Jika teori tersebut menganggap Omelas sebagai masyarakat yang adil, maka teori itu sendiri cacat karena tidak mampu memperhitungkan ketidakadilan mendasar yang terjadi pada individu tertentu. Kesimpulannya, jika Omelas tidak adil, maka utilitarianisme yang membenarkan Omelas sebagai kota yang adil juga tidak bisa dianggap benar sebagai teori moral yang utuh.
Eksperimen pemikiran yang diajukan oleh Robert Nozick dalam *Anarchy, State, and Utopia* menyoroti absurditas yang dapat muncul dari penerapan prinsip utilitarianisme yang ketat. Dalam skenario ini, Nozick memperkenalkan konsep "monster utilitas," sebuah makhluk yang memiliki kapasitas untuk merasakan kesenangan yang sangat besar, yang bahkan jauh melampaui pengalaman rasa sakit orang lain. Dalam situasi ini, ketika monster utilitas menyaksikan orang disiksa, ia merasakan kesenangan yang jauh lebih besar daripada rasa sakit yang dialami oleh orang tersebut. Mari kita lihat lebih dalam tentang bagaimana eksperimen ini berfungsi:
- Keseimbangan Kebahagiaan dan Penderitaan: Dalam perspektif utilitarian, tindakan yang dianggap "benar" adalah yang menghasilkan kebahagiaan terbesar untuk jumlah orang terbesar. Jadi, jika monster utilitas merasakan kesenangan yang sangat besar dari melihat orang lain menderita, dan jika kita mengikuti prinsip utilitarian dengan ketat, itu berarti bahwa kebahagiaan agregat bisa ditingkatkan dengan mengorbankan banyak orang demi kesenangan monster tersebut.
- Kewajiban Moral: Utilitarianisme akan menyiratkan bahwa kita secara moral berkewajiban untuk "menyerahkan diri" sebagai korban untuk meningkatkan utilitas keseluruhan. Dalam hal ini, jika penderitaan individu dapat memberikan kesenangan yang luar biasa bagi monster, maka dalam kerangka utilitarian, mungkin dianggap sebagai tindakan yang "benar" untuk mengorbankan individu tersebut demi kepuasan monster. Ini menciptakan situasi di mana kita seharusnya secara moral menerima penderitaan besar demi kebahagiaan yang tidak adil.
- Keterbatasan Utilitarianisme: Argumentasi ini menunjukkan batasan serius dari utilitarianisme sebagai teori moral. Meskipun utilitarianisme berfokus pada hasil dan kebahagiaan agregat, ia sering kali mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan hak individu. Dalam skenario monster utilitas, kita jelas merasa bahwa menyerahkan diri kepada monster adalah tindakan yang tidak etis dan tidak dapat diterima, karena itu melanggar hak dasar individu dan prinsip-prinsip kemanusiaan.
- Absurditas Situasi: Akhirnya, argumen ini menunjukkan absurditas situasi di mana kita harus mengorbankan individu demi kesenangan satu makhluk. Jika utilitarianisme memerlukan pengorbanan semacam itu untuk mencapai kebahagiaan total, maka ada yang salah dengan logika utilitarian tersebut. Tidak ada yang bisa membenarkan pengorbanan yang tidak adil terhadap individu demi kebahagiaan mayoritas, dan situasi ini menciptakan ketidakadilan yang tidak bisa diterima.
Dengan demikian, eksperimen pemikiran Nozick dengan monster utilitas menunjukkan bahwa utilitarianisme, ketika diterapkan secara kaku, dapat menghasilkan konsekuensi yang absurd dan tidak etis, yang pada akhirnya memperkuat argumen untuk pendekatan etika yang lebih menghormati hak individu dan keadilan.
Keberatan terhadap eksperimen pemikiran seperti yang diajukan oleh Nozick sering kali berakar pada anggapan bahwa skenario tersebut tidak realistis atau terlalu ekstrim untuk dijadikan dasar dalam penilaian moral. Namun, argumen ini dapat dibantah karena tujuan dari eksperimen pemikiran adalah untuk menyelidiki dan mengisolasi aspek-aspek tertentu dari moralitas, serta untuk mengeksplorasi implikasi logis dari suatu teori etika.
- Relevansi Moral dalam Skenario Tidak Realistis: Meskipun banyak eksperimen pemikiran tidak berakar pada situasi nyata, mereka tetap memiliki kekuatan dalam mengungkapkan prinsip-prinsip moral yang mendasar. Misalnya, dalam konteks Star Wars, meskipun The Force adalah elemen fiktif, kita masih dapat memahami bahwa menggunakan Dark Side dari The Force—yang berkaitan dengan manipulasi, kekerasan, dan penderitaan—menyalahi prinsip-prinsip moral yang diterima. Ini menunjukkan bahwa bahkan skenario fantastis dapat digunakan untuk mengeksplorasi kebaikan dan kejahatan.
- Kekuatan Teori Moral: Ketika sebuah teori moral memandu tindakan dalam situasi yang sangat ekstrem atau tidak realistis, hal ini membantu kita memahami batasan dan implikasi teori tersebut. Jika suatu teori moral dapat digunakan untuk membenarkan tindakan yang jelas-jelas tidak etis, seperti mengorbankan individu untuk kepuasan makhluk fiktif, maka hal itu menunjukkan bahwa teori tersebut tidak dapat diterima secara moral. Dengan demikian, eksperimen pemikiran bertujuan untuk menantang dan mengevaluasi teori etika secara kritis.
- Isolasi Faktor Relevan: Eksperimen pemikiran sering kali dirancang untuk menyederhanakan situasi dengan menghilangkan faktor-faktor yang mungkin membingungkan dalam penilaian moral. Dengan menciptakan skenario yang ekstrem, seperti keberadaan monster utilitas, kita bisa dengan jelas melihat bagaimana suatu teori etika dapat berfungsi dalam konteks yang sangat tidak wajar. Ini membantu mengungkapkan masalah yang mungkin tersembunyi dalam penalaran moral sehari-hari.
- Kejelasan Masalah Moral: Dengan menempatkan individu dalam situasi yang tidak realistis dan ekstrem, eksperimen ini menjadikan isu-isu moral menjadi lebih jelas dan lebih gamblang. Tanpa kompleksitas dari situasi nyata, kita bisa lebih fokus pada aspek-aspek inti dari moralitas, seperti hak individu, keadilan, dan konsekuensi dari tindakan kita. Ini memungkinkan kita untuk mempertimbangkan apakah suatu teori etika memadai dalam menjaga prinsip-prinsip moral yang diterima secara umum.