Salah satu contohnya adalah ketika seseorang secara sukarela berkorban demi kebahagiaan yang lebih besar di masa depan. Ini adalah situasi yang tampaknya adil, karena orang tersebut membuat keputusan sadar untuk menanggung penderitaan sementara dengan tujuan mendapatkan manfaat jangka panjang. Misalnya, seseorang bisa menjalani kelas akuntansi yang sulit agar mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, atau rela menerima suntikan yang menyakitkan demi mencegah penyakit di masa depan. Dalam contoh ini, individu memilih untuk menyeimbangkan antara penderitaan dan kebahagiaan pribadi.
Namun, masalah serius muncul ketika penderitaan yang dihasilkan oleh tindakan itu tidak dialami secara sukarela oleh individu tersebut, tetapi malah dipaksakan oleh kelompok mayoritas demi kebahagiaan orang lain. Misalkan sekelompok besar orang memutuskan untuk membuat satu individu menderita agar mereka sendiri bisa menikmati kebahagiaan yang lebih besar. Contohnya, orang banyak mungkin menyakiti satu individu demi memberikan kebahagiaan atau manfaat kepada orang lain. Meskipun kebahagiaan keseluruhan meningkat, ada ketidakadilan yang jelas karena penderitaan individu tersebut tidak dihormati.
Secara intuitif, kita merasa bahwa tindakan ini tidak adil karena utilitarianisme mentah tidak memperhitungkan hak individu. Ini mencerminkan cacat serius dalam teori ini, yaitu bahwa utilitarianisme dapat membenarkan penderitaan yang dipaksakan pada individu atau kelompok kecil demi keuntungan mayoritas. Ini menciptakan risiko "tirani mayoritas," di mana hak-hak individu dikorbankan untuk keuntungan kolektif. Meskipun utilitarianisme bertujuan untuk memaksimalkan kebahagiaan, pendekatan ini gagal memperhitungkan keadilan distributif dan perlindungan hak-hak individu.
Masalahnya terletak pada fakta bahwa kebahagiaan tidak bisa selalu dianggap sebagai satu-satunya ukuran keadilan. Ada prinsip-prinsip moral lain, seperti hak asasi manusia dan keadilan yang merata, yang perlu dipertimbangkan untuk menjaga agar kepentingan dan hak individu tidak dikorbankan demi kepentingan kolektif.
Utilitarianisme mentah berfokus pada kebahagiaan agregat atau total masyarakat, dan selama kebahagiaan total meningkat, teori ini dapat membenarkan tindakan yang menyebabkan sebagian orang menderita agar sebagian lainnya bisa bahagia. Di sinilah letak masalah mendasar dari utilitarianisme ini.
Dalam kerangka utilitarianisme mentah, setiap individu dianggap sebagai "wadah" yang menampung kesenangan dan kesakitan. Selama kebahagiaan total meningkat—meskipun tidak didistribusikan secara merata—utilitarianisme menganggap hal itu sah. Ini berarti bahwa penderitaan individu dapat diabaikan atau dianggap sebagai harga yang wajar untuk mencapai kebahagiaan yang lebih besar bagi orang lain.
Misalnya, jika satu orang mengalami penderitaan besar tetapi penderitaannya memungkinkan banyak orang lain merasa sedikit lebih bahagia, utilitarianisme mentah akan membenarkan situasi ini. Bagi utilitarianisme, yang terpenting adalah hasil akhir: kebahagiaan agregat yang lebih besar. Tidak ada perhatian khusus terhadap keadilan individual atau bagaimana kebahagiaan dan penderitaan tersebut dialami oleh individu-individu yang terlibat.
Masalahnya adalah bahwa pendekatan ini mengabaikan pentingnya hak-hak individu dan keadilan distributif. Secara moral, kita merasa bahwa penderitaan seseorang tidak bisa dibenarkan hanya karena itu menguntungkan orang lain. Ada sesuatu yang tidak benar ketika seseorang harus menderita demi kebahagiaan orang lain tanpa persetujuan atau keseimbangan yang adil.
Intuisi moral kita mengatakan bahwa setiap individu memiliki nilai dan hak yang melekat, yang tidak boleh diabaikan demi tujuan kolektif. Memaksimalkan kebahagiaan total mungkin tampak masuk akal secara teori, tetapi jika itu mengorbankan individu dengan cara yang tidak adil, sistem tersebut cacat. Inilah yang membuat utilitarianisme mentah tidak memadai sebagai teori keadilan yang sepenuhnya etis, karena gagal memperhitungkan martabat individu dan kebutuhan untuk memperlakukan setiap orang dengan adil, bukan hanya sebagai alat untuk mencapai kebahagiaan kolektif.
Cerita pendek "Orang-orang yang Keluar dari Omelas" karya Ursula K. Le Guin menggambarkan dilema moral yang berkaitan dengan utilitarianisme dan konsep keadilan. Dalam cerita ini, Omelas adalah kota yang tampak utopis: masyarakat hidup dalam kedamaian, tanpa perang, penyakit, atau penderitaan. Semua orang di sana sehat, cantik, dan bahagia. Namun, keindahan dan kebahagiaan masyarakat ini menyimpan rahasia gelap—kesejahteraan mereka sepenuhnya bergantung pada penderitaan satu anak yang dipenjara dalam kondisi yang sangat buruk.
Anak tersebut dipaksa untuk hidup dalam kegelapan, kotoran, kelaparan, dan ketakutan. Kesedihan dan penderitaan anak ini, entah melalui kekuatan magis atau prinsip moral tertentu, menjadi fondasi dari kebahagiaan seluruh kota. Semua warga Omelas tahu tentang keberadaan anak ini, dan mereka sadar bahwa kebahagiaan mereka adalah hasil langsung dari penderitaan anak tersebut. Mereka menerima kenyataan ini, karena kebahagiaan yang mereka nikmati tidak akan mungkin terjadi tanpa pengorbanan anak itu.