Mohon tunggu...
Ahmad Faizal Abidin
Ahmad Faizal Abidin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sebagai seorang mahasiswa yang selalu berusaha memberikan hal-hal bermanfaat untuk semua orang, saya senang berbagi ide dan inspirasi dalam berbagai bentuk. Mulai dari artikel mendalam, opini yang membuka wawasan, puisi yang penuh makna, hingga cerpen yang menghibur dan humor yang segar. Setiap karya yang saya hasilkan bertujuan untuk memberi nilai tambah, memperkaya pengetahuan, dan menghadirkan senyuman di tengah rutinitas sehari-hari. Melalui tulisan, saya berharap bisa membangun jembatan pemahaman dan mendorong kreativitas, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sabdapalon dan Naya Genggong: Simbol Perlawanan dan Harapan dalam Mitologi Jawa

25 Maret 2024   22:10 Diperbarui: 25 Maret 2024   22:10 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sabdapalon sering kali disandingkan dengan figur lain yang bernama Nayagenggong, keduanya dianggap sebagai penasehat bagi Brawijaya V. Namun, perdebatan tentang apakah kedua tokoh ini adalah orang yang sama atau berbeda masih belum terpecahkan dengan jelas. Sebagian berpendapat bahwa keduanya mungkin merupakan representasi dari dua aspek yang berbeda dari satu tokoh yang kompleks. Saat ini, ajaran atau petuah yang diatribusikan kepada Sabdapalon telah dijadikan sebuah kitab yang menggambarkan sejarah asal-usul Kabupaten Pati dalam bentuk sastra babad. Kitab ini berisi tentang nilai-nilai kebaikan yang bersumber dari warisan leluhur tanah Jawa. Kitab yang memuat ajaran Sabdapalon ini menceritakan tentang asal-usul Kabupaten Pati dengan rinci dan mendalam, memberikan gambaran yang jelas tentang nilai-nilai yang diyakini berasal dari tradisi nenek moyang Jawa. 

Dalam bentuk sastra babad, cerita-cerita tersebut disampaikan secara dramatis, memperlihatkan kearifan lokal dan kearifan budaya yang menjadi bagian integral dari identitas masyarakat setempat. Melalui kitab ini, ajaran Sabdapalon menjadi lebih tersampaikan dan tersusun secara terstruktur. Hal ini memungkinkan pemahaman yang lebih dalam tentang nilai-nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat Jawa, serta sejarah dan identitas Kabupaten Pati. Kitab tersebut menjadi sarana untuk memelihara dan mewarisi tradisi serta kearifan lokal kepada generasi selanjutnya, menjadikannya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari warisan budaya Jawa.

Sabdapalon: Penjaga Tradisi dan Penentang Perubahan 

Nama Sabdapalon disebutkan dalam Serat Darmagandhul yang ditulis oleh Ki Kalamwadi pada hari Sabtu Legi, 23 Ruwah 1830 Jawa (atau dalam kalender Jawa disebut sebagai sangkala Wuk Guneng Ngesthi Nata, yang sama dengan tanggal 16 Desember 1900 Masehi). Serat Darmagandhul merupakan sebuah tembang macapat dalam kesusastraan Jawa Baru yang ditulis dalam bahasa Jawa ngoko. Dalam Serat Darmagandhul, disebutkan bahwa Sabdapalon tidak dapat menerima ketika Brawijaya digulingkan pada tahun 1478 oleh tentara Demak dengan bantuan dari Walisongo (meskipun dalam sumber-sumber sejarah secara umum menyatakan bahwa Brawijaya digulingkan oleh Girindrawardhana). Sabdapalon kemudian bersumpah akan kembali setelah 500 tahun, saat korupsi merajalela dan bencana melanda, untuk menghilangkan Islam dari Jawa dan mengembalikan kejayaan agama dan kebudayaan Jawa.

 Dalam Serat Darmagandhul, agama orang Jawa disebut sebagai Agama Budhi, di mana ajaran Buddha berdampingan dengan ajaran Hindu. Cerita tentang Sabdapalon juga ditemukan dalam Serat Damarwulan dan Serat Blambangan. Tokoh ini diceritakan sebagai penganut kepercayaan Budi, yaitu agama Jawa yang diwariskan secara turun-temurun. Sabdapalon meramalkan kehancuran Islam di Tanah Jawa, dengan ramalannya yang mengatakan bahwa takdir akan membawa kembali Agama Budi setelah lima ratus tahun, ketika zaman Islam sudah mencapai puncaknya.

Dalam ramalannya, Sabdapalon menyatakan:

"Pepesthene nusa tekan janji, yen wus jangkep limang atus warsa, kepetung jaman Islame, musna bali marang ingsun, gami Budi madeg sawiji."

Yang artinya, "Takdir nusa sampai kepada janji, jka sudah genap lima ratus tahun, terhitung zaman Islam, musnah kembali kepadaku, Agama Budi berdiri menjadi satu."

Ini mencerminkan keyakinan akan masa depan di mana ajaran dan kepercayaan Jawa akan bangkit kembali setelah periode tertentu, menggantikan dominasi Islam di Jawa. Peristiwa letusan Gunung Semeru pada tahun 1978 menjadi titik penting yang menggugah ingatan kolektif masyarakat Jawa terhadap ramalan Sabdapalon. Letusan ini, yang terjadi dalam konteks sosial dan budaya yang kaya, menambah dimensi pada legenda Sabdapalon yang telah ada sebelumnya. Sabdapalon, yang dihormati dalam tradisi Hindu Jawa dan oleh para penganut kejawen, menjadi simbol dari kekuatan spiritual dan kearifan lokal yang bertahan dalam menghadapi perubahan zaman. 

Dalam konteks kepercayaan dan mitologi Jawa, Sabdapalon tidak hanya dipandang sebagai penasihat kerajaan, tetapi juga sebagai perwujudan dari perlawanan terhadap perubahan agama dan sosial. Penghargaan yang diberikan kepadanya mencerminkan penghormatan terhadap nilai-nilai tradisional serta keinginan untuk mempertahankan identitas budaya di tengah arus modernisasi dan globalisasi. Legenda tentang Sabdapalon dan Nayagenggong, bersama dengan peristiwa bersejarah seperti letusan Gunung Semeru, memberikan wawasan tentang bagaimana masyarakat Jawa memahami dan menafsirkan sejarah mereka sendiri. Mereka menggunakan cerita-cerita ini untuk memberikan konteks dan makna pada peristiwa alam dan sosial yang mereka alami, serta untuk menggali kearifan lokal dalam menghadapi tantangan zaman.

Naya Genggong: Pengingat Kebenaran yang Berani 

Sabdo Palon sering diidentifikasi dengan karakter Semar dalam lakon Mahabharata versi Jawa. Dalam dunia pewayangan, dia sering muncul bersama anak-anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Menurut penelitian antropolog Paul Stange pada tahun 1988, Sabdo Palon dianggap sebagai inkarnasi dari Semar, yang dianggap sebagai mahaguru di Tanah Jawa. Mereka dianggap sebagai titisan dewa dari kayangan yang turun ke bumi dan menjadi panakawan, yakni kawan yang penuh pemahaman. Peran mereka adalah menjadi penasehat bagi raja dan pelindung bagi rakyat. Meskipun Sabdo Palon dan Naya Genggong bukanlah nama asli, namun mereka merupakan gelar yang diberikan sesuai dengan peran yang mereka emban.

 Dalam Serat Darmo Gandul, Sabda Palon diartikan sebagai kata-kata yang berasal dari namanya. Sabdo Palon memiliki dua makna, "sabdo" yang berarti seseorang yang memberikan masukan atau ajaran, dan "palon" yang bermakna pengunci kebenaran yang bergema dalam ruang semesta. Sementara itu, Naya Genggong memiliki arti "naya" yang berarti nayaka atau abdi raja, dan "genggong" yang berarti mengulang-ulang suara. Naya Genggong dianggap sebagai seorang abdi yang berani mengingatkan raja secara berulang-ulang tentang kebenaran dan bersedia menanggung akibatnya.

Legenda dan Realitas: Pengaruh Sabdapalon dan Naya Genggong 

Menurut ajaran dari seorang guru ahli spiritual, keberadaan Sabdo Palon sebenarnya merupakan manifestasi dari sosok Raja Jin Gunung Tidar, yang diyakini berada di Jawa Tengah. Kesaktiannya dikatakan mampu menciptakan ketakutan di sekitar Pulau Jawa, sehingga Raja Turki Mehmed I mengirimkan Syekh Subakir untuk melakukan ritual penyembuhan (ruqyah) di Pulau Jawa. Dalam cerita yang diceritakan, Raja Turki Mehmed I mengutus Syekh Subakir dari Persia dan pamannya, Maulana Malik Ibrahim, untuk menyebarkan agama Islam di Nusantara. Singkat cerita, Syekh Subakir, seorang ulama dari Persia, melakukan perjanjian dengan Sabdo Palon, yang akhirnya memberikan izin untuk menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa. Dalam kisah ini, peran Sabdo Palon menjadi bagian dari narasi tentang masuknya Islam ke Nusantara, di mana pertemuan antara ulama Persia dengan sosok mistis seperti Sabdo Palon menjadi titik penting dalam sejarah penyebaran agama Islam di wilayah tersebut.

Legenda mengenai Sabdapalon yang menolak Islamisasi Jawa dan perjanjiannya dengan Syekh Subakir menggambarkan kompleksitas interaksi antara budaya dan agama di Jawa. Sementara itu, keberadaan Naya Genggong, yang mungkin merupakan representasi alternatif dari Sabdapalon atau tokoh yang berbeda, mencerminkan keragaman interpretasi terhadap sejarah dan mitologi. Cerita tentang Sabdapalon menegaskan resistensi terhadap perubahan agama di Jawa, dengan perjanjiannya untuk tetap mempertahankan keberadaan agama Hindu-Buddha. Ini menunjukkan bagaimana keberagaman agama dan budaya Jawa telah memberikan lanskap yang kompleks dalam sejarahnya. 

Di sisi lain, figur Naya Genggong memberikan gambaran tentang beragam interpretasi terhadap tokoh-tokoh sejarah dan mitologi dalam budaya Jawa. Apakah Naya Genggong merupakan representasi lain dari Sabdapalon atau sosok yang berbeda, ini menunjukkan adanya variasi dalam narasi dan pemahaman tentang sejarah dan mitos di kalangan masyarakat Jawa. Keduanya, baik Sabdapalon maupun Naya Genggong, memberikan wawasan tentang bagaimana budaya Jawa memandang dan menafsirkan kompleksitas identitas dan perubahan budaya serta agama. Legenda-legenda ini menjadi cerminan dari dinamika yang ada di dalam masyarakat Jawa, yang kaya akan warisan sejarah, mitos, dan nilai-nilai budaya yang terus berkembang seiring waktu.

Kesimpulan: Warisan yang Terus Hidup 

Sabdapalon dan Naya Genggong, melalui narasi dan ajaran yang mereka sampaikan, telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari warisan budaya Jawa. Kisah mereka memperlihatkan betapa pentingnya menjaga identitas budaya sambil juga mengakui serta menghargai perubahan yang terjadi. Mereka tidak hanya menjadi tokoh legendaris, tetapi juga menjadi simbol perjuangan yang abadi antara tradisi dan modernitas, serta antara resistensi terhadap perubahan dan kemampuan untuk beradaptasi. Kisah perjalanan mereka merefleksikan dinamika yang terus berlangsung dalam masyarakat Jawa, di mana nilai-nilai tradisional dipertahankan sekaligus disesuaikan dengan tuntutan zaman yang terus berkembang. Melalui kisah Sabdapalon dan Naya Genggong, kita diingatkan akan kompleksitas dalam menjaga warisan budaya sambil juga membuka diri terhadap perkembangan zaman. Mereka menjadi cerminan dari perjuangan yang tak pernah berhenti antara mempertahankan nilai-nilai luhur nenek moyang dan mengakomodasi perubahan yang terjadi di sekitar kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun