Praktik tidur siang di tempat kerja, yang disebut 'inemuri', merupakan sebuah fenomena unik yang khas hanya terjadi di Jepang. Meskipun di beberapa budaya lain, tidur di tempat kerja mungkin dianggap tidak sopan atau tidak profesional, namun di Jepang, inemuri dianggap sebagai tanda dedikasi terhadap pekerjaan, komitmen terhadap tim, dan kesiapan untuk berkorban.Â
Dalam budaya Jepang, inemuri dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap tempat kerja. Ini menunjukkan bahwa seseorang telah bekerja keras dan mungkin kurang tidur karena jam kerja yang panjang atau tanggung jawab di luar pekerjaan. Fenomena ini sering dianggap sebagai tanda bahwa seseorang telah menghabiskan banyak energi dalam pekerjaannya. Di beberapa kasus, inemuri juga dipandang sebagai cara untuk merefresh otak dan meningkatkan produktivitas setelah istirahat singkat.
Namun, penting untuk dicatat bahwa inemuri tidak boleh dianggap sebagai praktik yang biasa dilakukan setiap hari. Ini harus dianggap dengan bijaksana dan hanya dilakukan jika tidak mengganggu pekerjaan atau rekan kerja lainnya. Selain itu, penting untuk tetap waspada terhadap lingkungan sekitar dan siap untuk dibangunkan jika dibutuhkan.Â
Meskipun inemuri diterima di budaya Jepang, hal ini juga harus dipahami dengan konteks budaya yang tepat. Praktik ini mencerminkan nilai-nilai seperti dedikasi, kesiapan untuk berkorban, dan menghormati atasan, namun tidak selalu dapat diterapkan dengan mudah di budaya kerja lain yang mungkin memiliki pandangan yang berbeda tentang tidur di tempat kerja.
Penurunan Tenaga Kerja dan Laju Kelahiran
Sebuah penelitian telah mengidentifikasi bahwa Jepang berpotensi menghadapi kekurangan lebih dari 11 juta pekerja pada tahun 2040, menyoroti tantangan ekonomi yang akan dihadapi negara ini seiring dengan pertumbuhan populasi yang cepat. Populasi usia kerja diprediksi akan mengalami penurunan yang signifikan mulai tahun 2027, menurut penelitian yang dilakukan oleh lembaga pemikir independen Recruit Works Institute dan dipublikasikan pada hari Selasa.Â
Meskipun permintaan tenaga kerja di Jepang diperkirakan akan tetap stabil, pasokan pekerja diproyeksikan akan menyusut sekitar 12% pada tahun 2040 dibandingkan dengan tahun 2022. Perdana Menteri Fumio Kishida telah menetapkan sebagai prioritas pemerintahannya untuk membalikkan penurunan angka kelahiran di Jepang, menyadari potensi keruntuhan masyarakat akibat penurunan jumlah bayi yang lahir mencapai tingkat terendah baru. Sebagai upaya untuk mengatasi tantangan ini, ia berjanji untuk mengalokasikan dana sekitar ¥1 triliun ($7,6 miliar) untuk melatih pekerja agar memiliki keterampilan yang lebih tinggi dalam lima tahun ke depan.
Namun, negara dengan populasi 126 juta jiwa ini telah mulai merasakan tekanan yang signifikan, dengan populasi usia kerja diperkirakan akan menyusut sebesar 20% dari tahun 2020 menjadi 59,8 juta pada tahun 2040. Penurunan ini diperkirakan akan memberikan dampak yang signifikan terutama pada sektor-sektor padat karya seperti transportasi, konstruksi, dan layanan kesehatan.Â
Meskipun demikian, meningkatkan imigrasi bukanlah solusi yang mudah untuk mengatasi masalah ini dalam jangka panjang, karena Jepang mengalami penurunan relatif dalam perekonomian global dan menghadapi krisis penuaan serupa dengan banyak negara lain di seluruh dunia.Â
Studi ini juga memperingatkan bahwa kesenjangan antara daerah perkotaan dan pedesaan di Jepang kemungkinan akan semakin memburuk seiring berjalannya waktu, dengan hampir semua prefektur di luar Tokyo menghadapi potensi kekurangan tenaga kerja pada tahun 2040.Â